Sorry. Revisi 100%. Minor Romance. More fantasy&mystery. No boyband.
--------------
Dentuman musik keras memenuhi rongga telingaku, menembus masuk ke dalam tubuh, memukul-mukul jantungku dengan keras. Rasanya gendang telingaku mau melompat keluar. Aku sendiri sampai tidak yakin apa yang berdetak di dalam dadaku, jantungku atau beat lagu-entah-apa yang memekakkan telinga itu?
"Hei, Miss." Bartender berjenggot kambing itu mulai menatapku tidak sabar. "Kau ini mau pesan apa?"
Seharusnya aku tidak berada di sini. Kalau saja bukan karena si Teddy sialan.
"Sebentar lagi," ucapku untuk yang kesekian kalinya. Aku menempelkan layar ponselku ke telinga, berharap bisa meredam sedikit suara-suara musik itu. Tapi tidak berhasil. Aku bahkan tidak bisa mendengar nada sambungnya.
Tapi yang lebih parah, si tertuju tidak mengangkat teleponnya.
"Sial," desisku. Aku kembali menekan nomornya.
"Miss," si bartender tampak mulai kesal. "Aku tidak peduli kau sedang menunggu siapa. Tapi kau sudah duduk di sini selama satu jam tanpa memesan apa pun."
Selama satu jam itu pula Teddy tidak mengangkat telepon sialannya.
"Sstt," aku menempelkan telunjukku ke bibir, "Aku sedang menelepon."
Alasan besar, karena pertama, kau jelas tidak akan bisa mendengar lewat telepon di tengah bisingnya kelab malam, dan kedua, sebenarnya aku tidak pernah minum. Aku tidak bisa minum.
Dan aku melakukan semua ini---pergi ke kelab malam tanpa sepengetahuan orangtuaku di tengah malam, dengan sweter rajutan merah muda dan rok putih selutut mengembang yang membuatku tampak seperti anak tersesat---demi Teddy.
Maksudku, Teddy memutusiku minggu lalu tanpa alasan jelas---well, ia bilang kalau aku labil dan kami mulai tidak cocok, tapi itu bukan alasan---dan setidaknya aku harus melakukan sesuatu untuk memancingnya. Seperti di film-film, di mana cowok-cowok akan panik ketika mengetahui mantan kekasih mereka ternyata berada di tempat yang tidak bagus, kemudian cowok itu akan menjemput si cewek, dan menyadari kalau ternyata mereka tidak terpisahkan....
Tapi Teddy bahkan tidak---
"Ya?" Suaranya terdengar kecil dan samar dari ujung telepon.
"Teddy!" seruku. Seharusnya aku marah, tapi suaraku malah terdengar lega.
Kemudian, aku tidak bisa mendengar balasannya lagi. Suaranya teredam beat yang semakin cepat.
Tapi memang itu lah yang kubutuhkan. Aku sengaja mengarahkan ponselku ke pengeras suara di ujung ruangan selama beberapa saat, kemudian mematikan sambungan telepon sambil menyeringai.
"Nah," si bartender kembali menatapku dengan penuh tuntutan, "jadi sudah memikirkan minuman yang cocok untukmu?"
Aku mau segelas air putih.
Tapi itu akan terdengar konyol.
"Beri dia segelas air putih," kata sebuah suara berat di belakangku.
Aku memutar kursi bar-ku dan menengadah untuk menatap sumber suara. Seorang laki-laki jangkung bermata hijau balik menatapku tanpa ekspresi, memakai jaket kain hitam dan celana jeans longgar dengan sobekan di sana sini. Rambut coklat gelapnya cukup panjang untuk ukuran laki-laki: nyaris mencapai bahu, bergelombang dengan poni yang disisir ke belakang. Ia berjalan ke kursi sebelahku, kemudian duduk tanpa melirik ke arahku.
Aku memutar kursiku lagi ke depan, melongo menatap laki-laki di sampingku yang mulai mengeluarkan ponselnya.
"Lakukan saja apa yang kubilang, Robin," katanya lagi pada si bartender. "Dan untukku, yang seperti biasa."
Robin mendengus ke arahku sejenak, tapi ia segera menyiapkan minuman untuk kami---tampaknya ia tidak berani membantah laki-laki gondrong itu. Sesaat setelah si bartender berwajah masam itu meletakkan segelas berisi air putih di depanku, akhirnya aku mulai sadar.
"Bagaimana kau bisa tahu---maksudku, kenapa kau memesankanku air putih?" tanyaku.
Laki-laki itu masih tidak melirikku. Ia menuliskan sesuatu di atas ponselnya dengan digital pen, kemudian menyesap minuman berwarna biru keunguan yang diberikan bartender tadi. "Tanyakan itu pada dirimu sendiri. Kenapa kau bisa menyasar ke sini?"
"A-aku tidak nyasar!" bantahku.
"Tentu saja," dengusnya, lalu mengambil potongan lemon yang dijepit di mulut gelas dan mengisapnya.
Aku tidak sempat membalasnya lagi, karena setelah itu ponsel di tanganku bergetar.
Berusaha tidak melompat girang karena melihat nama Teddy tertera di layar, aku meneguk sedikit air putih, kemudian membawa ponselku ke tempat yang jauh dari speaker.
"Teddy!" seruku lagi.
"Namaku bukan Teddy," sahutnya datar.
Yeah, Teddy hanya nama panggilanku padanya selama kami berpacaran. Tapi apakah ia benar-benar sudah melupakan semua perasaan itu?
"Please. Apa kau benar-benar melupakanku? Kita?"
"....menelepon....?" Sial. Suaranya masih teredam musik ini.
"Apa?" seruku sambil berjalan ke luar kelab, sesekali menjerit ketika merasa tangan-tangan yang tidak sopan menyentuhku.
"Kau ini kenapa, Morgan?" tanyanya keras ketika aku sudah mencapai pintu keluar.
Aku tertegun, nyaris tidak bisa bergerak di depan pintu kalau saja tidak ada wanita malam yang menyuruhku menyingkir dari dalam. Dia memanggil nama belakangku. "Morgan?"
"Bukankah itu namamu?"
"Selama ini kau memanggilku Tay!"
"Itu namaku juga."
Dia benar. Kami sama-sama bernama Taylor. Lucunya, karena nama belakangnya McAdam, yang membuat kami selalu duduk bersebelahan di kelas Matematika dan Biologi (beberapa guru memiliki peraturan menyebalkan mengenai urutan tempat duduk berdasarkan nama), dan sering salah menyahut setiap ada yang memanggil salah satu di antara kami, akhirnya aku dan Teddy menjadi dekat. Sampai hubungan itu semakin berkembang tinggi hingga akhirnya jatuh seperti sekarang ini.
"Sekarang aku di kelab," lirihku. Bodohnya aku, hanya itu yang bisa kukatakan.
"Kalau begitu pulang lah," balasnya datar.
Dasar bodoh!
Aku mematikan telepon, nyaris ingin membantingnya sebelum akhirnya mengurungkan niatku. Ini ponsel mahal.
Apa dia benar-benar tidak punya hati? Dia bahkan tidak terdengar cemas sama sekali. Bagaimana jika aku diculik, kemudian dijual sebagai budak ke luar negeri dan tidak terlihat lagi?
Maksudku, kenapa dia sama sekali tidak menanyakan di mana aku berada, kemudian segera menyambar kunci mobil sialannya dan menjemputku dengan BMW hitam sialannya?
Mataku mulai memanas, disertai dengan ingus yang menghalangi saluran pernapasanku. Pandanganku mulai mengabur, dan aku bisa merasakan cairan yang mengumpul di pelupuk mataku.
Bagus. Aku akan menangis di tempat umum. Di depan kelab malam lagi. Dan jangan lupakan sweter merah mudaku.
Teddy sialan!
Maksudku, Taylor sialan!
Tunggu. Namaku juga Taylor. Sialan sialan!
PRANG!
AAAHHH!
Suara jeritan yang berasal dari dalam kelab mengalihkan perhatianku. Ketika aku baru saja hendak mengintip, suara hantaman keras yang mengejutkan membuatku terlonjak mundur. Aku tidak sempat menghindar ketika tiba-tiba pintu kaca kelab pecah dengan suara keras, dan sesuatu menghantamku hingga terjatuh.
Lalu semuanya menjadi gelap.