Tangan dan kaki Calvin nampaknya mulai memerah. Paling tidak sebentar lagi kulitnya akan robek. Belum lagi pundak kirinya yang sedikit berdarah. Aku sungguh tak sabar.
"Letta.. aku bersumpah akan melaporkan kejahatanmu setelah ini!"
"Benarkah? Kau sungguh baik Cal. Tapi tak usah repot-repot, kau sudah tidak bisa ke kantor polisi setelah ini. Kau akan mati, tunggu saja."
Aku menuju dapur. Aku butuh benda tajam untuk menusuk perutnya hingga menembus ke usus. Aku memilih pisau roti yang ada di atas meja. Selai darah, kurasa menarik.
Aku segera keluar dan menghampiri Calvin. Ia masih berteriak menikmati setiap rasa sakitnya. Aku tersenyum, sungguh adegan yang sangat indah. Calvin sepertinya melihat ku membawa pisau roti, mungkin sebelum pergi ia ingin makan roti isi selai darah dahulu.
"Cal, kapan kau bersedia ku bunuh?" Aku perlahan mendekatinya, duduk di depannya. Calvin mendengus benci, tatapannya sudah sangat memanas. Ia siap membunuhku duluan sepertinya. Mengerikan.
"Ayolah, berikan aku kata-kata manismu untuk yang terakhir kalinya."
Aku mengarahkan ujung pisau ke perutnya. Menunggu jawaban bukan erangan kesakitan. Perlahan-lahan menancapkannya lebih dalam. Kutarik kembali pisau yang menusuk ke dalam perutnya. Ku arahkan ke tangan kanannya. Menggoreskan sedikit di sana agar terdapat bekas luka yang bagus kurasa. Aku menusukkan pisau ini lebih dalam, kutarik menurun. Darah kembali keluar dari tangannya. Indah.
Aku kembali menarik keluar pisau yang menancap tangannya. Kini kembali ke bagian perut. Erangannya semakin keras dan semakin indah di dengar. Bibirku merajut sebuah senyuman kecil.
Calvin menahan nafas, bibirnya memucat. Tatapannya kosong, mulutnya tak mampu berkata-kata lagi. Air dari ujung matanya menetes. Sungguh, pemandangan inilah yang paling aku tunggu-tunggu.
"Hen--henti--kan.. Lett--kau tak me-- mengerti apa yang se--dang kau laku--kan.." masih mencoba bicara ya. Aku menusukkan pisau ke perutnya lebih dalam lagi.
"I--ingatlah.. ka--kau bahkan mem--bunuh o--orang yang kau ci-cintai.."
Setelah itu, perlahan nafasnya berhenti. Aku menusuknya dengan sangat baik. Sepertinya aku juga harus menyelematkan hidupku sendiri. Aku menggoreskan pisau roti ini ke tanganku, darah segera mengucur dari sana. Air mataku menetes, jatuh tepat di atas luka goresan di tanganku.
Selamat tinggal orang yang sangat aku cintai, kini hidupku akan tenang tanpa ada orang yang bisa memilikimu selain aku.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANOTHER ME
Mystery / ThrillerAku tak pernah membunuh bosku. Jika kau menanyakannya padaku lain waktu, mungkin aku akan menjawab "ya". (17+ Cerita ini mengandung unsur kekerasan dan tidak untuk ditiru)