WHY?

96 8 10
                                    

Hello.
Ini pertama kalinya aku tulis cerita dan aku bener-bener pemula banget. Maaf buat kata-kata yang berhancuran dan dipenuhi typo.
Help by : ju_ve_nia

Hope you like it. Enjoy the story.

Luna POV

"Kita putus aja ya."
Kata-kata itu membuatku membeku sampai aku tidak tahu caranya bernapas. Lidahku kelu dan aku tak tahu harus berbuat apa. Sesak ini terus menghimpit dadaku, sakit yang tidak bisa aku deskripsikan dengan kata-kata. Air mata telah menumpuk di pelupuk mataku siap untuk diluncurkan. Aku mencoba untuk mengumpulkan tenagaku, mencoba bertahan walau hatiku terus memberontak.

"Jangan menangis" batinku berteriak terus menerus. Tetapi apa yang aku harapkan bukanlah kenyataan yang sedang terjadi. Air mata pun lolos mengaliri pipiku, menandakan kepedihan yang sedang kutahan sedari tadi akhirnya tersalurkan. Aku langsung menundukkan kepalaku agar ia tidak tahu bahwa aku sedang menangis.  Aku runtuh dan hancur. Bisakah kalian membayangkan bagaimana rasanya bila oksigen kalian direnggut secara paksa? Atau ketika jantung kalian berhenti berdetak? Itulah yang aku rasakan sekarang.

Keheningan tercipta diantara kita berdua . Air mataku terus mengalir namun tidak ada isakan keluar. Kutahan isak tangisku dengan menggigit bibir bawahku agar ia tidak mendengarnya. Kalian harus tahu bahwa aku berusaha keras untuk melakukan itu.
Aku menghapus kedua air mataku kemudian mendongkak menatap kedua mata birunya yang indah, mata yang nantinya tidak dapat terus kulihat dan akan selalu kurindukan.

"Tapi .. kenapa? Apa salahku?" lirihku dengan suara serak penuh kepiluan dan kesedihan.

"Cintaku terhadapmu telah pudar seiring berjalannya waktu. Dan ada orang lain yang kucintai." katanya tanpa ada kesedihan dalam tatapannya. Sesingkat itu? Setelah apa yang telah kita lalui bersama, kamu hanya mengucapkan kata itu? Bahwa kamu sudah tidak mencintaiku bahkan tanpa mengatakan maaf?
Jangankan maaf, dia bahkan tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa dia bersalah.

"Oh begitu ya, jadi kamu sudah ada penggantiku?" tanyaku dengan pelan.

"Iya, dan menurutku dialah yang terbaik untukku. Jadi aku harap kamu bisa pergi dari hidupku untuk selamanya dan lupakan aku, karena aku juga sudah melupakanmu."
Sekali lagi hantaman sakit itu datang bertubi-tubi. Seperti pedang yang ditancapkan ke jantungku tanpa ampun. Aku benar-benar tidak tahu harus berkata apa. Ketika kata-kata itu terlontar, aku berharap saat itu juga aku bisa lenyap dari dunia ini.
Tapi, apa boleh buat? Kalau dia yang menyuruhku pergi dari kehidupannya maka aku akan menuruti apa yang dia inginkan. Asalkan dia bahagia maka aku juga akan bahagia. Karena kebahagiannya adalah kebahagiaanku juga. Ketika dia memilih untuk pergi dari kehidupanku maka aku akan menurutinya. Hanya ada satu alasan mengapa aku pergi meninggalkannya , yaitu ketika dia sendiri menyuruhku untuk pergi, bukan aku yang memutuskan karena tidak akan pernah sekalipun terlintas di pikiranku untuk pergi dari kehidupannya.

Aku melirik tangan kiriku dan melihat langsung ke arahnya dengan senyum yang dipaksakan sambil tertawa sumbang.

"Oh, selamat ya. Semoga kamu bahagia. Hahaha aku pergi dulu ya, soalnya aku ada urusan."
Ketika aku membalikkan badanku dan berjalan terus ke depan, air mata itu kembali turun dan tanpa bisa kutahan lagi. Aku menyadari bahwa ketika kita menahan tangis itu lebih menyakitkan dibandingkan kita menangis tersedu-sedu.
Kalau memang ini adalah yang terbaik untuknya, maka aku akan mengikhlaskannya, walaupun dengan berat hati aku menyetujui bahwa hubungan kita telah berakhir, tapi aku tidak boleh egois karena ketika suatu hubungan dilandaskan dengan suatu paksaan maka percayalah kalau hubungan itu akan berakhir tidak baik.

WHY?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang