Bagian II : Permata

47 1 0
                                    

Eris berjalan ke meja bartender dan membersihkan mejanya dengan kain. Semua orang tetap nyaman memakan roti dan meneguk ale dari gelasnya. Sampai... lonceng pintu bar berbunyi, seorang pria tinggi, berkulit putih, berambut pirang panjang berdiri di sana. Dia memperhatikan sekelilingnya seolah mewaspadai serangan. Semua orang memperhatikannya—termasuk Eris.

"Heyy Tuan, apa kau akan berdiri di sana dan menghalangi orang-orang yang ingin keluar-masuk?" Kata Eris melambaikan kainnya ke arah pria aneh itu.
Pria itu berjalan ke arah meja bartender, suara sepatunya saat menginjak lantai kayu memenuhi kesunyian bar itu. Semua orang memperhatikan kala ia berjalan. Dia lalu duduk di kursi di dekat Eris. Semua orang sudah bosan memperhatikannya dan kembali beraktivitas seperti biasa. Eris lanjut membersihkan meja selagi pria itu berfikir ingin memesan apa.

"Kami tidak punya banyak menu di sini, roti dan segelas ale?" Eris menawarkan. Pria itu mengangguk pelan. Eris mengambil gelas yang berada di belakangnya dan mengisinya dengan ale dari barel kemudian menaruhnya di depan pria itu. Ia lalu berjalan keluar dari meja bartender dan masuk ke ruangan yang penuh dengan roti dan ale itu. Saat dia membuka pintu, Alas berdiri di depannya, membawa harpanya, dan Elk terlihat sedang mencuci piring di belakangnya.

"Mau kemana kau?" Tanya Eris kepada Alas.

"Terima kasih, Eris. Tapi, aku harus kembali ke motelku sebelum matahari terbenam."

"Oh... Kau tidak perlu bantuan?" Tanya Eris lagi.

"Sudah lah Eris, dia pria dewasa, ku yakin dia bisa berjalan ke motelnya sendirian." Kata Elk yang sekarang mengeringkan piring dengan kain.

"Kau dengar katanya." Alas lalu berjalan pelan keluar dari bar. Salah satu pria tua dekat dengan pintu mengangkat gelasnya dan berkata, "Cepat sembuh paman Eris." Ekspresi wajah Alas terlihat kebingungan, tapi dia tak menghiraukannya dan tetap berjalan keluar. Terdengar suara lonceng ketika dia keluar dari bar.

Eris masuk ke dalam dan berjalan ke rak yang penuh dengan roti, dipotongnya roti itu menjadi bagian kecil. Lalu, roti itu ditaruh di atas piring. Dia hendak berjalan keluar lalu Elk berkata, "Sebentar lagi waktu kerja ku selesai, aku sudah menyiapkan beberapa roti dan barel ale untuk malam ini. Dan ada bungkus makanan di dekat pencucian piring untukmu." Kata Elk dengan suara melengkingnya sembari menunjuk ke semua benda yang ia sebut tadi. Eris hanya mengangguk dan tersenyum kepada Elk, ia lalu keluar ruangan. Kembali ke meja bartender dan memberikan sepiring roti itu kepada pria aneh. Pria itu langsung melahap rotinya dengan rakus seolah belum makan selama beberapa hari. Di Avstares jarang sekali ada orang yang kelaparan, karena orang-orang yang berada di kota ini biasanya orang-orang yang berpenghasilan lebih untuk hidup. Eris memandangi pria itu dengan aneh.

"Jarang sekali ada orang yang kelaparan di kota ini." Kata Eris, salah satu tangannya menopang dagu. Pria itu tidak menghiraukan perkataan Eris dan tetap makan dengan lahap. Seorang pria tua mabuk, berada di pojok ruangan, mengangkat gelasnya. Eris berjalan keluar dari meja bar dengan membawa ceret besar yang berisikan ale. Dia tuangkan ale dari ceret ke gelas pria itu. Sebagai pelayan di sini, bersenyum adalah suatu kewajiban, suka atau tidak suka.

Eris sudah lama bekerja di bar ini. Pemilik bar ini—Elk—merawat Eris dari kecil. Tapi, Elk bukanlah orang tua kandung dari Eris. Elk mengadopsi Eris dari panti asuhan. Jadi, Eris tidak tahu siapa orang tua kandungnya. Dia pernah menanyakan perihal itu kepada Elk, tetapi dia tidak menghiraukannya dan dengan cepat mengganti topik. Sejak saat itu Eris jarang sekali bertanya kepada Elk tentang itu.

Setelah Eris menuangkan ale ke gelas pria di pojok ruangan dia kembali lagi ke meja bartender dan melihat Elk keluar dari ruang belakang-tempat penyimpanan ale dan roti. Tubuhnya yang langsing dan rambut merahnya yang panjang selalu menarik perhatian para pria mabuk. Elk berjalan ke arah pintu keluar bar, sebelum keluar ia mengambil jaketnya yang tergantung di dekat pintu keluar. Sebelum keluar pria yang tadi duduk di dekat pintu mengangkat gelasnya lagi dan berkta, "Aku cinta kau, Elk."
Elk hanya tersenyum yang terlihat dipaksakan dan berkata, "Aku juga cinta kau, Tristan." Sambil melambaikan tangannya ke pria itu---Tristan. "Dan kau, Eris, selamat bersenang-senang dengan para pria tua mabuk ini." Katanya sebelum dia keluar dari bar.

Lonceng berbunyi dan Elk keluar, sekarang hanya tersisa Eris dan orang-orang mabuk ini—termasuk orang aneh di depannya. Eris, dengan tubuhnya yang pendek, hanya memperhatikan orang-orang mabuk yang lain jika butuh segelas ale atau roti. Walaupun orang-orang ini mabuk, mereka tidak lupa untuk membayar setelah mereka makan atau minum.

Cahaya matahari sore menyinari ruangan bar lewat jendela-jendela yang terbuka dan sela-sela ventilasi di sekitaran dinding bar. Pria aneh yang berada di depan Eris sekarang tidur dengan pulas. Di sekitaran bibirnya masih ada serpihan roti dan selai. Tangan kirinya menggengam gelas yang berisikan ale. Rambut pirangnya yang panjang menutupi sebagian wajahnya.

Semakin malam para pengunjung di bar tidak kalah ramai dengan siang tadi, Eris perlu menyalakan lentera yang tergantung di dekat pintu masuk dan di atas meja bar. Pria aneh yang berada di depannya masih tertidur pulas dan tidak berubah posisi sedikit pun.
Apakah dia mati? Eris bertanya dalam pikirannya. Eris tidak menghiraukannya dan tetap melayani pria-pria mabuk dari meja ke meja, mengantarkan roti dan menuangkan ale dari ceret besarnya. Sesekali ada pelanggan yang sangat mabuk dan menjatuhkan gelas, membuatnya pecah.

Eris berjalan kembali ke meja bartender dan mengisi ceretnya yang sekarang kosong. Selagi dia menuangkan ale dari barel ke dalam ceret, lonceng pintu bar berbunyi dan sepasukan prajurit berbajuh zirah masuk ke dalam bar. Semua orang— orang-orang mabuk itu—panik ketika prajurit itu masuk. Bahkan, seorang pria tua di pojok ruangan dekat dengan jendela berteriak, "Aku tidak mencuri apapun" dan mengeluarkan beberapa keping emas dari sakunya dan kabur melalui jendela. Tapi, nampaknya prajurit itu tidak peduli dengan pria yang kabur itu. Mereka mengelilingi Eris dan mengarakan ujung tombaknya ke arah meja bartender. Pria di depan Eris bangun mendengar keributan itu dan sekarang mengusap-ngusap wajahnya, merapihkan rambut pirangnya yang panjang dan melihat-lihat sekeliling dengan wajah orang yang mengantuk.

"Ada apa ini ribut-ribut?" Kata pria itu, pandangannya tertuju ke Eris.

"K-kau bisa melihat sekelilingmu, 'kan?" Jawab Eris takut.

"Hmmmmmm...," kata pria itu sekarang menguap.

Tiga prajurit di depan Eris berdiri tegak dan membuka jalan, seorang prajurit yang menggunakan jubah biru tua dan tangan kananannya memegang helm besinya berjalan mendekat ke arah meja bar.

"Kau Tuan," prajurit itu menunjuk pria di depan Eris. "Kau adalah pencuri permata kerajaan Halem, permata paling berharga dan sebagai hukumannya... nyawamu."

Pria di depannya menarik poni rambutnya kebelakang dan terlihat sebuah bekas luka-seperti luka pisau-dari alis sebelah kiri ke dahi sebelah kanan. "Oke, biar aku luruskan. Pertama, aku bukan pencuri, aku hanya seorang pengelana pencari ilmu di Fregul. Faktanya saja, aku belum pernah ke Halem," pria itu menjelaskan sambil menggerak-gerakkan tangan. "Apa kau yakin tidak menangkap orang yang salah? Kalau kau menangkap orang yang salah dan tidak mendapatkan kembali permata itu ku yakin Fetor kerajaan Halem akan sangat kesal."

"Lalu bisa kau jelaskan ini," prajurit itu menunjukkan sesobek kain berwarna coklat. "Ada bagian dari pakaianmu yang tertinggal di pagar kerajaan Halem."

Eris melihat sobekan juga di belakang pakaian pria itu. Pria itu mencari-cari apakah benar itu miliknya. Dan dia menyadari bahwa sobekkan yang berada di prajurit itu adalah miliknya. Dia tersenyum kecil dan berkata, "Upss..." sambil mengangkat kedua bahunya.

"TANGKAP DIA!" perintah prajurit itu kepada anggotanya.

Pria itu melompat ke balik meja bartender dan sekarang berada di sebelah Eris. Pria itu menarik lengan kiri Eris dan memutarnya, membuat tubuh Eris terpaksa memutar dan kini Eris merasakan sesuatu yang dingin di lehernya.

"Kau maju, ku jamin bocah ini akan bernafas melalui tenggorokkanya." Ancam pria itu kepada pasukan. Semua prajurit itu berdiri tegap dengan tombak masih di tangan mereka. Mereka mengarah kepada prajurit yang menggunakan jubah biru tua itu—menunggu perintah. Prajurit dengan jubah itu mengangkat tangan kirinya, mungkin bertanda untuk tidak menyerang.

Pria yang menodongkan belatinya di leher Eris menariknya ke ruangan yang penuh dengan roti dan ale itu. Eris sangat takut, mukanya pucat dan keringat dingin tak hentinya keluar dari tubuhnya. Kakinya lemas selagi ia berjalan terseret menuju ruangan itu. Dia masih bisa melihat dengan cukup jernih, sedang para pelanggan hanya melihatnya tanpa upaya untuk membantu. Ada sedikit amarah muncul dalam diri Eris kepada orang-orang itu. Berharap Elk berada di sini, membantunya.

Please comment, vote, and share!

Eris and The EnchantersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang