Janda itu Aib

64.2K 381 8
                                    

Awalnya, aku menganggapnya sebagai pengganggu usaha menyepiku yang susah payah pindah dari kota ke kaki gunung demi mencari inspirasi untuk proyek besar sebagai senimanpatung

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Awalnya, aku menganggapnya sebagai pengganggu usaha menyepiku yang susah payah pindah dari kota ke kaki gunung demi mencari inspirasi untuk proyek besar sebagai seniman
patung. Teman sesama seniman dari luar negeri meminta untuk berpartisipasi di pameran yang akan diadakannya dua bulan lagi dan aku bahkan belum punya konsep yang matang di kepalaku.
Sebagai laki-laki, proyek ini adalah pertaruhan harga diri. Sudah beberapa percobaan yang kubuat tapi semuanya sampah. Aku prustasi. Tepat ditengah kebingungan mengejar waktu itu,
aku melihatnya berjingkat-jingkat ditengah semak belukar di depan rumah, entah sudah berapa lama dia mencoba melepaskan diri dari sana, hingga akhirnya badannya roboh. Kaget, dengan
cepat diriku berlari menolong. Dan saat itulah pertemuan pertamaku dengannya.

Rusti, begitu dia menyebut namanya. Kalau tidak mengaku bahwa dia janda, aku tak akan pernah tahu kenyataan itu. Wajahnya tak tampak seperti orang yang sudah menikah. Rambut ikal hitam sebahu, kulit coklat, tapi wajahnya bersih dan punya senyuman yang manis.
Temperamen suaminya yang gampang meledak, membuat Surti tak tahan. Bahkan keguguran akibat kondisi psikologis yang kacau karena masalah itu membuatnya trauma mengandung lagi. Hingga saat bercerai, Surti tak pernah benar-benar merasakan menjadi seorang ibu. Dia memohon-mohon agar tidak mengatakan keberadaannya pada siapapun. Di tempat ini janda merupakan aib, bentuk kegagalan memalukan yang dipercaya akan memberikan kutukan berupa
bencana alam dan paceklik pada desa sehingga tak ada satupun janda yang diizinkan untuk tinggal di sini. Surti bersembunyi di tempat rahasia agar dia masih bisa diam-diam menjenguk
orang tuanya ketika penduduk desa terlelap.

Sejak pertemuan itu, Surti sering datang. Pagi buta jam 3 membelah hutan kecil di
sekeliling rumah sambil membawa obor. Dia tak takut, sudah biasa. Waktu yang tepat untuk pergi kemanapun yang disuka, karena tak ada seorangpun yang akan memergokinya. Kadang Surti membawa ketela pohon yang tumbuh liar disekitar hutan. Menemaniku ngopi, sementaratanganku menatah batu untuk proyek itu, dia mengajakku mengobrol menanyakan ini itu dan melihat karya-karya lamaku.

“Wuah…,” Surti menganga di depan benda yang diangkatnya tinggi-tinggi, “ini
patung siapa? Mirip denganku,” kuingat katanya suatu hari ketika dia mengunjungiku. Aku menertawakan ekspresi terkejutnya yang tampak lugu, tapi aku setuju pendapat Surti bahwa
patung ibuku itu mirip dengannya, walaupun ingatan tentang ibu sudah lama kabur. Patung itu kubuat ketika usiaku 20 tahun, tepat setelah bibi memberikan satu-satunya foto yang dimilikinya padaku. Walaupun tak pernah sekalipun mengatakan, bibi pasti tahu bahwa aku merindukan sosok perempuan itu.

Ibu kehilangan ayah dalam kecelakaan tepat saat usiaku 6 tahun, dan setelah itu, kehidupan keluargaku berubah seperti neraka. Ibu meninggalkanku pada bibi, pergi ke tempat yang takku ketahui dan mengunjungi seminggu sekali. Sebulan berlalu keadaan seperti itu, tiba-tiba ibu pulang dalam keadaan tak bernyawa. Aku tak tahu apa yang terjadi tapi jenazah ibuku penuh luka memar dan sayatan. Rasa ngeri saat melihatnya membuatku langsung
mendekap erat boneka kesayangan, benda pemberian ibu satu-satunya. Setiap kali ditanya tentang hari itu, aku berpura-pura tak mengingatnya sambil diam-diam mengabaikan bayangan
yang masih jelas berkelebatan.

JandaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang