Pernah merasa berada dalam dongeng klasik tentang ksatria dan puteri raja. Atau mungkin dalam kasus ini ksatria dan putera mahkota. Aku lebih suka menyebutnya seperti itu, terdengar berbeda, memancing segudang tanya. Mungkin dalam dunia kalian sang putera mahkota akan selamanya terkubur dalam ruang gelap gulita dan puteri raja akan menjelma menjadi pemeran utama.
Ini hanya sebuah kisah singkat tentang diriku, putera mahkota milik semesta. Sekali lagi kutegaskan, ini bukan kisah penuh warna-warni bunga. Bukan pula kisah remaja yang akan membuat pipi merah. Jangan mengharapkan pula dongeng gadis muda yang penuh cinta.
Ini hanya kisah biasa, datar dan membosankan.
Sederhana dan menjemukan. . . .
Baiklah, kita mulai saja tanpa bertele-tele. Kata-kata di atas tadi hanya basa-basi. Singkat. Aku tak menyukai dongeng panjang. Tulisan-tulisan dan kosakata aneh membuat kepalaku pusing. Ingat. Ini dongeng kaum minoritas. Mari kita buang sajak indah dan bualan penuh dusta.
Kisah ini tidak tercipta di sebuah padang bunga penuh warna. Tidak juga berawal di sebuah ruangan putih yang dipenuhi kupu-kupu bercorak pelangi. Anggaplah aku putera mahkota dalam dongeng ini. Jangan bayangkan putera mahkota dengan tahta permata. Jangan. Buang imajinasi bodoh kalian.
Mari kita berjalan.. .
Di sudut kota, kalian akan menemukan bangunan kecil dua lantai yang pekarangannya berisi rumput liar dan beberapa pot azalea berwarna jingga. Dindingnya dicat merah jambu. Terlihat pudar di beberapa sisi karena pemiliknya terlalu malas untuk sekedar membubuhkan cat baru. Jika kalian tak malas, silahkan berhitung. Bangunan itu ada di urutan ke sembilan dari arah utara, atau ke empat dari arah selatan.
Pintu depannya akan menimbulkan suara berderit saat dibuka. Harum pinus akan menusuk indera penciuman begitu melangkah masuk. Aneh. Selera penghuni rumah itu memang aneh.
Tengoklah ke dalam. Naiklah melalui tangga kayu yang ada di seberang ruangan dengan sofa cokelat dan perapian. Jika sudah, arahkan pandangan kalian ke sisi kanan. Disana ada pintu berwarna biru muda. Masuklah.
Kita akan memulainya dari sini. Sebuah ruangan dengan pintu bercat biru muda. Oh ya, perkenalkan. Aku tokoh utama dalam kisah ini, kalian bisa memanggilku Jeonghan. Putar gambar di kepala kalian tentang sosokku, aku tidak tampan dan lagi-lagi tidak duduk di tahta permata. Dulu sekali, rambutku berwarna pirang dan panjang hingga ke bahu. Mereka bilang aku cantik, tapi bunga mawar juga cantik, bias warna di senja hari juga cantik. Sampai pada suatu hari aku sadar, mereka bilang begitu dengan sorot mata yang berkilat jenaka. Bohong. Mereka tidak bilang aku cantik.
Sudah 22 tahun.
Itu usiaku saat ini, atau bisa juga hasil kalkulasi berapa lama aku telah menempati rumah ini. Tak perlu terkejut. Orang tuaku tinggal lebih lama lagi. Selama itu pula tak ada yang berubah. Dari mana aku harus memulainya, oke dari ruangan dengan pintu bercat biru muda. Itu kamarku, kalian sudah di dalamnya.
Kisahku selalu dimulai ketika gelap menyapa. Aku suka malam, karena malam itu panjang dan bercerita.
.
.
.
Aku sedang duduk gelisah, terbangun dari tidur siang tanpa mimpi indah. Tatapan mataku menyapu seisi kamar dan menemukan jarum jam menunjuk hampir pukul tujuh. Dengan sedikit malas aku mengintip keluar dari balik celah jendela. Gelap. Aku tidur terlalu lama, seperti biasa.
Cklek!
"Hannie, kamu sudah bangun." Sebuah suara menginterupsiku, suaranya halus menyapa gendang telinga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Night Rhapsody
Fanfiction"Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" . "Belum, belum pernah." . . Malam itu ia datang, masih dengan senyum dan wajah tampan yang sama seperti bertahun-tahun lalu. Kepada malam ia bercerita. Dan karena malam, dongeng ini tercipta. Warning! Narasi p...