The Executor

251 10 0
                                    

Lelaki berkulit langsat itu mengendus tengkuk gadis berparas ayu yang terbaring lemah di hadapannya. Aroma darah menyelimuti seluruh ruang temaram ini. Aku tak mampu berkata. Hanya menatap tanpa suara.

Seringai tersirat di wajah tampan itu. Percikan darah menghias rupa-nya. Dibelainya lembut pipi merona si gadis ayu itu. Dikecupnya pelan kening penuh darah si gadis.

Seringainya makin lebar.

"Kita berhasil lagi, bukan?" tanyanya seakan tak perlu jawaban. Matanya melirik tajam ke arahku.

Kuhela napasku pelan.

"Kamu, bukan aku," ujarku seraya memalingkan muka.

Aku sudah terbiasa dengan amis menyengat yang terhirup hidung bangirku. Namun, entah mengapa, kali ini terasa berbeda. Ada perih menyayat hati. Ada mual menyelusup dada.

Lelaki itu menggenggam jemariku erat. Diberikannya pisau bersimbah darah padaku. Senyumnya kembali merekah. Semakin lebar. Semakin menyakitkan.

Tangan penuh darahnya menyibak rambutku. Menyentuh bibirku.

"Kamu urus sisanya, ya?" Mata sayunya menatapku manja. Menghadirkan kembang api di dadaku. Jantung berdegup layaknya pesta tadi malam.

Aku berpasrah. Terbuai akan rayu tanpa bual. Kuanggukkan kepalaku, tanda setuju. Seperti sebelumnya, selalu begitu. Aku tak mampu menolaknya, mengabaikan tatapnya.

Kuseka tubuh polos gadis ayu di hadapanku. Kubersihkan setiap tetes darah yang hiasi kulit mulusnya. Tubuhnya layu, bak boneka kain. Belum membeku.

Kupakaian dia gaun putih layaknya mempelai wanita. Kusisir rapi rambut tebalnya. Kupoles perona di pipi berisinya. Kutabur bedak ala kadarnya. Bibir tipisnya kulukis merah. Sempurna.

Dia akan jadi mempelai tercantik hari ini. Andai nyawa masih menempati raganya.

Terdengar suara terkikik di belakangku. Aku sontak menoleh. Lelaki berkulit langsat itu menutup mulutnya dengan jemari. Berusaha menahan tawa.

Aku tertegun menatapnya. Dia lalu berjalan melewatiku, mengambil sebuah buku catatan usang yang teronggok di pojok ruang.

"Si... la..., done." Dicoretnya nama di buku itu dengan pena merah.

Diusapnya buku usang itu. Tatapannya kosong, meski sebuah senyum tersungging di wajahnya. Tatapannya lalu berubah, cerah. Dia tertawa. Terbahak.

"Sudah tiga belas...," ujarnya sambil terkekeh, "pantas saja aku ingin menikmatinya. Begitu hangat. Begitu membekas dalam ingatan."

Aku hanya mampu membisu. Ada luka menoreh hatiku.

Lelaki berkulit langsat itu melirikku.

"Selanjutnya akan lebih menarik." Tatapannya menakutiku. "Kali ini, akan kulakukan saat jiwa masih bersama raga." Tawanya membahana, memenuhi ruang temaram bercahayakan lampu lima watt ini.

▲▲▲

"Bagaimana pestamu kemarin malam?" Sebuah suara serak memecah lamunanku.

"Ah, meriah," jawabku singkat.

Lelaki berkemeja hitam itu duduk di hadapanku.

"Dia bertingkah lagi?" tanyanya menyelidik.

Kukernyitkan dahiku. "Dia?" Kupasang wajah heranku.

Lelaki di hadapanku berdecak. "Lelakimu," ucapnya sambil terkekeh.

"Ah..., Raka? Dia bukan lelakiku, perlu kau tahu."

THE PUNISHMENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang