Namanya Elsie, pelajar kelas 3 SMA Permata Bangsa, sebenarnya ini hari pertama Elsie menginjakkan kaki di sekolah megah bertingkat 6 ini. Ya, Elsie baru saja pindah dari kota kecil di pulau Kalimantan ke kota Jakarta. Kota besar dengan hiruk pikuk asap kendaraan dimana-mana. Hal yang asing bagi Elsie. Matanya mengerjap memandang bangunan tinggi yang menembus awan di kanan kiri jalanan.
"Sayang, senyum donk? Hari ini masuk sekolah baru loh!"
"Iya ma ..."
Elsie meringis, dahinya mengkerut, walaupun begitu ia tetap mengulas senyum tipis agar ia tidak mengecewakan wanita yang duduk di bangku depan penumpang.***
"Iya ma, Elsie sayang mama, dadah!"
Sekolah ini unik, bukan hanya seragam sekolah yang sama. Tetapi sepatu pun seragam, sepatu putih berles biru menjadi andalan ketika membedakan murid sekolah lain dengan murid SMA Permata Bangsa.
***
Elsie merapikan poninya, menyisirnya kedepan dengan jari. Melangkah masuk ke dalam ruang kelas bertuliskan 12-IPA 1.
Kelas yang semula ribut dan gaduh berubah menjadi sunyi saat Elsie menjejakkan kaki ke dalam ruangan tersebut. Seorang gadis dengan rambut yang disemir warna cokelat menyeringai lebar.
"Wah ... Kayaknya ada anak baru nih."
Seisi kelas tertawa, Elsie tau hari pertamanya disekolah akan jadi seperti ini. Di-bully, dikucilkan, dan akhirnya dia tidak akan punya teman sama sekali.
Elsie menunduk, menggigit bibir bawahnya, mencoba mengatur napas dan membuka mulutnya.
"Iya, terus kenapa kalo gue anak baru?"
Seisi kelas ricuh, para gadis dibelakang saling berbisik, dan para lelaki bertepuk tangan dan bersorak-sorai.
"Pindahan mana lu?"
Si rambut cokelat mendelik, berusaha mengintrogasi sang anak baru."Ngapain lu mau tau?"
Jawab Elsie singkat. Ia takut, ia sangat takut, tapi ia tak mau dianggap anak tak berdaya, yang tak bisa apa-apa."Kalo gue nanya itu dijawab!"
"Emang penting banget ya jawabin pertanyaan elu?"
Tanpa menghiraukan si mahkota cokelat, Elsie duduk di bangku kosong baris pertama paling belakang, dengan pemandangan lapangan parkir di sebelah kanan.
Disebelah kirinya, seorang lelaki mengulas senyum simpul, menatap Elsie sambil bertopang dagu.
"Lu ... berani banget."
"Maaf?" Elsie menoleh ke kiri, balas menatap sang pemuda yang rambutnya disisir menyamping ke kanan.
"Itu, lu tadi, berani ngomong gitu di depan Ratu."
"Oh, nama cewek tadi Ratu?"
Sang pemuda menaikkan kedua alisnya sambil menjulurkan tangan kanan, "Grifin."
Ia tersenyum lebar, menunjukkan lesung pipinya dikanan kiri."Elsie," Jawab Elsie singkat sambil menjabat tangan Grifin. "So, boleh ceritain ke gue soal si Ratu?"
Grifin mengernyitkan dahinya dan mengisyaratkan Elsie untuk mendekat. Grifin berbisik, "Dia itu, anak Kepala Yayasan yang punya sekolah ini. Dengan kata lain, orang berpengaruh di sekolah."
Elsie melongo tak percaya, "Siapapun yang berani ngelawan dia, biasanya bakal didepak besoknya."
Elsie bergidik ngeri, bukan hal yang lucu kalau ia hanya bisa bersekolah di SMA Permata Bangsa hanya satu hari saja.
"Terus, asal lu tau aja ... Kalo si Ratu udah suka sama cowok, si cowok wajib balas perasaan dia kalo enggak..."
"Di depak juga?!" Pekik Elsie.
"Shh..." Grifin gelagapan sambil menoleh ke sekitar, takut ada yang mendengar percakapan mereka berdua.
"Pokoknya, kamu main aman aja kalo sama si Ratu." Kalimat Grifin mengakhiri percakapan mereka. Jam menunjukkan pukul 7:00, bel berbunyi dan seorang guru masuk kedalam kelas.
Tubuhnya pendek, gempal, dan kulitnya hitam, memegang map merah yang terlihat tebal. Ia tergopoh masuk kedalam kelas seakan takut terlambat. Pak Roy namanya, wali kelas 12 IPA-1.
Setelah berdoa dan mengucapkan salam, Pak Roy meminta Elsie untuk memperkenalkan diri di depan kelas. Ketegangan terjadi, tatapan dingin dari Ratu dan antek-anteknya serasa tak cukup untuk membekukan Elsie yang dengan santai memperkenalkan diri di depan kelas.
Tapi Elsie tak pernah tau, apa yang akan datang selanjutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Connected
Teen FictionTali takdir itu nyata adanya, sebagai pengikat antara satu manusia dengan manusia lain. Menyebabkan adanya koneksi antar mereka.