Elsie: Hujan

23 1 2
                                    

Siang ini hujan turun. Aku duduk di samping jendela besar, memperhatikan angin kencang yang membuat pepohonan di taman sekolah melambai, dan butiran-butiran air memenuhi jendela.

Aku menghela napas panjang, berusaha memperhatikan guru fisika yang sedang berbicara sendiri di depan. Hanya anak-anak yang duduk dibarisan depan yang memperhatikannya.

Sedangkan aku dan yang lainnya sedang sibuk sendiri. Aku menerawang seisi kelas, sepertinya peralatan make-up dan rambut yang dicat warna-warni merupakan hal yang lazim di sekolah ini.

"Hei!" Grifin menjentikkan jarinya tepat di depan wajahku.

"Lu gak ngerti ya sama yang diajarin di depan? Kok melamun gitu?"

"Oh ... Enggak, tadi gue lagi mikirin sesuatu aja."

"Mikirin gue ya?" Grifin memasang wajah menggoda, yang aku balas dengan senyuman kecut.

"Amit-amit!"

Sambil terkikik Grifin tampak mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Tasnya tampak tak asing, sepertinya sering kulihat dipajang di etalase toko.

"Lu pasti suntuk banget 'kan?" Grifin menyodorkan sebungkus permen. Aku bingung, belum menerima pemberiannya.

Tanpa rasa sungkan, Grifin menarik tangan kananku. "Udah, ambil aja ... Anggap aja kado perkenalan."

"Thanks." Jawabku singkat sambil memasukkan permen itu ke saku kiri baju seragamku.

Sekarang Grifin kembali sibuk sendiri, mengambil buku tulis dari dalam laci dan membukanya kasar.

Kalau diperhatikan, sebenarnya Grifin termasuk pemuda yang tampan. Rambutnya disisir rapi ke samping, kontras dengan matanya yang sipit. Tipikal seorang pemuda keturunan Tionghoa.

Mataku turun ke penampilannya, jam tangan, juga tasnya. Semua itu barang bermerk. Pastilah ia merupakan anak dari keluarga yang berada.

Aku sendiri sebenarnya bukan berasal dari keluarga yang berada. Keluargaku pindah ke kota Jakarta karena adanya masalah keluarga, menyebabkan aku, papa, dan mama memilih untuk tinggal menjauh.

Masuk ke sekolah Permata Bangsa, sekolah yang dianggap mahal dengan murid terbatas-pun merupakan sebuah bonus untukku. Kepala sekolah Permata Bangsa sendiri adalah sahabat papa sejak kecil.

Aku merapikan rambutku kedepan. Pindah ke kota Jakarta merupakan satu dari seribu hal yang tidak aku inginkan. Aku rindu pada teman-teman lamaku. Aku rindu pada dia, ya, Dia.

***

"Kamu kok akhir-akhir ini jarang senyum?" Papa membuka pembicaraan saat makan malam, aku berhenti mengunyah dan memandang piring yang hampir kosong.

"Iya dong pa, Elsie 'kan masih asing sama lingkungannya." Mama menjawab pertanyaan papa, aku hanya mengangguk setuju.

Memang benar, aku kehilangan keceriaanku. Bukan hanya itu, rasanya keinginanku untuk kembali menjadi Elsie yang dulu juga hilang.

***

Hari ini selasa, jari-jemariku terasa beku, hujan tak berhenti mengguyur kota Jakarta sejak kemarin siang. Langit sedang bersedih, begitu juga aku.

Bangunan bertingkat enam ini sepertinya akan membunuhku perlahan. Langkah kakiku berat untuk mencapai lantai lima, dimana kelasku berada.

Saat aku sampai di lantai dua, langkahku tercekat saat aku mendengar petikan senar gitar yang lembut.

"Lagu ini..." Aku berbicara pada diriku sendiri.

Petikannya sungguh anggun, membuatku penasaran siapa gerangan yang memainkannya.

Aku melirik arlojiku, masih jam 6:25! Tanpa pikir panjang aku menyusuri koridor lantai dua hingga aku mencapai ruangan paling ujung, ruang musik.

Seorang lelaki duduk di sudut ruangan, sedang memainkan gitarnya dengan ekspresi sendu, dan tatapan yang kosong.

Tiba-tiba pemuda itu berhenti memainkan gitarnya. Aku tersentak.

"Kalau mau denger masuk aja." Lelaki itu berkata datar.

Aku menggigit bibir bawah sambil melangkahkan kaki masuk ke ruang musik. "Hai ..." Sapaku canggung.

Aku mengambil posisi duduk disampingnya. Dia masih sibuk dengan gitarnya. Penampilannya sangat tak terurus, rambutnya tebal dibiarkan tak beraturan, dan ada bekas luka di pelipis kanannya.

"Kamu tau lagu ini?" Aku mengangguk dua kali.

"Nyanyiin." Aku membuka mulut berusaha menolak, menggeleng beberapa kali. Ia hanya tersenyum dan menoleh padaku. Mata kami bertemu, tatapannya tak lagi sendu, tak lagi kosong. Yang kulihat hanyalah iris hitam gelap, seakan menarikku kedalamnya.

"Namamu siapa?" Dia bertanya sambil memeluk gitarnya.

"Elsie, kalo elu?"

"Vinnian, panggil aja Ian."

Aku terkikik geli, mengingat namanya yang mirip dengan salah satu karakter anime berjudul Black Butler.

"Pake V bukan pake F." Sambungnya.

Aku tetap tersenyum, "Kenapa harus manggil 'Ian'? Gaboleh manggil 'Vin'?" Pertanyaan bodoh kulontarkan.

Dia memandang angklung yang digantung rapi lalu memandangi kakinya sambil bergumam. "Suatu hari nanti aku ceritain."

Dia memasukkan gitarnya dalam kantong besar khusus gitar dan menggendong tas gitarnya. "Bye, Elis."

"Nama gue Elsie!" Aku berteriak. Ia meninggalkanku dengan suara rintikan hujan didalam ruang musik yang kosong.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 06, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ConnectedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang