Saya pernah ditanya, "Pernah bikin cerita lurus, nggak, Non?". Sering. Dulu harus bikin kalau emang mau dapat nilai pas sekolah. Hehehe... sekarang nggak lagi. Dengan tidak meninggalkan sebuah tradisi, ini ada sebuah kisah pendek... :)
Fujoshi ini pun nulisnya beginian juga? Check this out!
__________________________
Ketika dihadapkan pada sebuah permasalahan, wanita Jawa adalah bagian paling depan yang ditunjuk. Ketika anakmu sakit, siapa yang disalahkan? Ketika anakmu mendapat nilai jelek, siapa yang disalahkan? Lah, wanita Jawa digadang-gadang sebagai wanita yang harus pintar di tiga tempat kok! Sumur, dapur, dan kasur. Bagian cuci, masak dan kelonan sama suaminya. Mbok ya kalau memang wanita itu memang tercipta untuk memosisikan dirinya di tiga tempat itu, kenapa harus sibuk mikir ini-itu?
Tetapi, tidak untuk Nandini.
Nandini tersenyum maklum. Di depannya, Wironggo masih terbahak. Salah kalau dia mengungkapkan filosofi jarik padanya. Wironggo bukan pria kejawen, dia hanya sedang tergila-gila. Dengan Nandini, si wanita Jawa. Berbagai prinsip selalu Nandini ceritakan. Dia bukan wanita kolot seperti simboknya, sama sekali bukan.
Nandini adalah wanita Jawa yang berprinsip. Meski terkadang prinsipnya harus ditentang oleh simboknya. Dengan alasan, wanita itu hanya sekedar tulang rusuk lelaki, ndak ilok kalau harus melawan. Wanita itu tugasnya hanya mencuci baju suaminya, masak, lalu melayani suaminya di kasur. Tidak! Sampai kapan pun Nandini tidak ingin seperti itu. Wanita Jawa juga bisa kuat seperti lelaki.
“Nandini, tak tahukah kau... jarik yang kau agungkan itu punya makna yang terlalu dalam? Bahkan aku tak sanggup berpikir sejenak tentang apa yang kau maksud!” Wironggo menyela, memaksa Nandini untuk menjawab tuntutannya.
Nandini bungkam, tersenyum kemudian. Bagaimana pun, Nandini bukan wanita kolot yang terlalu menjunjung ideologi kejawennya. Dia hanya wanita jawa. Penganut adat ketimuran, namun wanita yang memegang teguh ideologinya sendiri.
“Kau tahu, Mas... Jarik yang kita perdebatkan ini hanyalah selembar kain. Ketika aku lahir, simbok membungkusku dengan kain itu. Bahkan ketika aku mati nanti pun, kain itu yang akan menjadi penutup kafanku,” terangnya lagi.
Wironggo bungkam. Bagaimana mungkin Nandini mendengarkan pemikiran modern kalau dia masih saja terjebak dalam ideologi tradisional begini?
Kali ini Wironggo terusik. Kopi yang disuguhkan Nandini mulai dingin, namun jemarinya masih bertautan satu sama lain. Enggan untuk menarik cangkir itu dan menyeruput isinya.
“Lupakan tentang jarik, Nandini! Aku kemari hanya butuh jawabanmu!”
Nandinilah yang mendongak saat ini. Dia bungkam. Tak pernah dia menyangka kalau Wironggo akan menuntutnya dengan jawaban. Nandini memang wanita jawa, namun dia wanita berprinsip. Kalau Wironggo datang ke sini hanya untuk mengajaknya menikah, Nandini akan segera menutup pintunya.
“Pulanglah, Mas! Aku akan menjawab pertanyaanmu kalau ideologi kita sudah sepaham!”
Wironggo mengerut tak suka.
“Jadi kau menolakku karena selembar jarik itu, Nandini?”
“Kita memang tak sepaham. Bahkan dengan obrolan kecil ini pun Mas tak mengerti. Kita sedang membicarakan filosofi tentang hidup dan mati!” Nandini tersenyum getir.
Tubuh moleknya berdiri, melangkah anggun masuk kembali ke dalam dapur. Tamunya enggan untuk pulang, karena itulah dia yang harus undur diri. Dapur adalah istananya. Sebagai wanita jawa.