...
This innocence is brilliant
I hope that it will stay ...
Sosok yang tak pernah kuduga kehadirannya itu membuatku berhenti sejenak saat memainkan senar pada gitar tua yang tengah kupeluk. Mataku lurus memandang ke sebuah meja yang berada disalah satu sudut ruangan. Pria berambut hitam pekat itu kemudian memalingkan matanya, setelah sebelumnya ia sempat melirikku. Aku terdiam dalam keheningan kafe yang terletak di ujung jalan ini. Aku pun tersadar bahwa pengunjung yang menonton penampilanku masih menungguku untuk melanjutkan lagu milik Avril Lavigne yang belum kuselesaikan sampai akhir.
Mulai kupetik perlahan senar gitar cokelat ini, tanpa memandang ke sudut ruangan.
...
This moments is perfect
Please don't go away
I need you know
And I'll hold on to it
Don't you let it pass you by
Tepuk tangan dari para pengunjung pun memenuhi ruangan berdinding merah ini. Sontak bibir tipisku membentuk senyuman yang mengembang tatkala kurasakan kepuasaan muncul dari wajah-wajah pengunjung. Aku bangkit dari bangku yang lumayan tinggi ini saat seorang wanita berambut pirang sebahu menaiki panggung dan menghampiriku dengan seulas senyuman dibibirnya.
"Wow! Suara yang menakjubkan! Terima kasih nona Vane, Anda telah bersedia menghibur kami dengan suara indah Anda. Sekali lagi, beri tepuk tangan yang meriah untuk nona Bella Javischa Vane!"
Kudengar suara riuh tepuk tangan dari para pengunjung yang begitu bersemangat. Lalu pembawa acara itu menjulurkan tangannya ke arahku dan segera kujabat dengan hangat. Kemudian kulirik meja bernomor 17 dan ... yah, sosok itu sudah tak ada. Kuedarkan pandanganku ke seluruh sudut kafe, namun aku tak menemukannya. Ia sudah menghilang, lagi.
Kuhela napas berat ketika menyadari bahwa hal itu terus terulang dalam rentang waktu kurang dari sebulan. Miris rasanya mengingat bahwa ia selalu duduk di sana, lalu hilang tanpa jejak. Mungkin bukan saatnya, atau malah tak pernah akan jadi saatnya. Ah ... rasa ini sungguh melelahkan.
"Vane!" panggil sebuah suara dari arah pintu.
Aku tersenyum kecil sambil mendekap gitar tuaku yang memang tak terlalu besar ukurannya. Mataku tak lepas memandang ke sana.
Pria bermantel kulit itu menyandar di pintu dengan cengiran lebar. Kulangkahkan kaki denga tergesa-gesa sambil membalas satu persatu sapaan dari para pengunjung di kafe ini. Tak kusangka antusias mereka cukup besar.
Sesampainya di sana, pria itu menarik gitarku lalu menepuk-nepuk kepalaku seakan-akan aku adalah seorang anak TK.
"Kulihat kau tadi tidak terlalu fokus saat bernyanyi, kenapa?" tanya Cliff, kakakku yang baik hati itu sambil mensejajarkan dirinya denganku saat berjalan di trotoar yang mengelilingi jalan St. Auburn. Daun-daun pepohonan ek yang menghiasi trotoar bergoyang karena tiupan angin—yang juga membuat poni cokelat milik Cliff menari-nari di dahinya yang sempit.
Aku menatap lurus ke depan, kerlap-kerlip lampu hias yang digantung di sepanjang pagar perumahan penduduk demi menyambut perayaan musim dingin seminggu lagi membuatku urung membuka mulut.
Rasanya alasan mengapa aku tak fokus saat bernyanyi tadi terlalu pribadi jika dibicarakan dengan Cliff, terlebih dia mengenal pria itu dengan baik. Memalukan jika seantero bumi malah mengetahui hal itu dari Cliff yang sebenarnya agak bermulut besar.
Keheningan di sepanjang perjalanan yang kuperbuat ternyata dapat membuat Cliff mengerti dan tak banyak bertanya lagi. Namun sesampainya di depan pagar rumah, aku mendadak terpaku saat melihat pemandangan yang tergambar jelas di depanku.
"Kau kenapa, Vane?" tanya Cliff bingung sambil menggoyang-goyangkan kedua bahuku.
"Ah ... hm? Eh ... tidak." ucapku tergagap sambil segera masuk ke pekarangan dan berlalu saja tanpa ikut-ikutan ber-barbeque ria di halaman rumah. Sekilas kulirik mereka dari jendela.
Cliff tengah bercanda dengan pria berambut hitam pekat itu sambil saling merangkul pasangan masing-masing.
Cliff dengan Ariesa, dan kakak perempuanku Stacy, dengan pria itu—Bryson—dan dia, sempat melirikku sambil tetap merangkul Stacy dengan wajah tak bersalah. Seakan tak pernah terjadi apapun di antara kami. Mungkin masa lalu tak berarti lagi baginya, dan itu ... sungguh menyakitkan.
- THE END -
N.B. Terima kasih banyak ya sudah mampir membaca cerpen ini. Maaf kalau ceritanya 'gantung', aneh, atau apapun itu. maklumlah ini 'Cerpen Satu Jam' yang ditulis oleh penulis amatir yang masih perlu banyak belajar. Kritik dan sarannya ditunggu ya :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Innocence
RomanceSeakan tak pernah terjadi apapun di antara kami. Mungkin masa lalu tak berarti lagi baginya, dan itu ... sungguh menyakitkan.