Jika ada yang bisa disebut 'syurganya' bagi pelajar mungkin itu adalah hari dan jam kosong. Jam kosong? Ya, itulah saat - saat kita -pelajar- merdeka untuk beberapa saat. Merdeka dari memusingkannya kimia atau fisika, merdeka dari bosannya sejarah ataupun pkn, hingga merdeka dari malasnya membaca soal bahas Indonesia yang panjang.
Itu yang terjadi seoarang di kelas XI MIPA 2. Kelasnya Diara, guru yang seharusnya mengajar kini berhalangan hadir karena suatu alasan, suasana kelas sangat ricuh. Bersamaan dengan itu,
"Mm.. lo tau Rio?" Ucap Diara tiba - tiba kepada dua orang yang berada dihadapannya. Tentu saja hal itu membuat Karin dan Alena cengo.
"SERIUS LO GAK TAU?!" Teriak Karin refleks, Alena mengangguk setuju kepada Karin.
Diara hanya mengangkat bahu acuh,
"rin kasih tau rin" Alena menepuk pundak Karin dengan keras sehingga gadis itu meringis kesakitan,
Karin menghela nafas panjang, "Diara Aquena, Rio itu seangkatan kita. Itu loh yang kalo dateng ke kantin mendadak ricuh, si pentolan. Empat serangkai, Rio, Abby, Adrian, Kenzo. Pada ganteng terus kece, gak ketinggal zaman deh ra. Terus Rio juga katanya tukang onar di kelasnya, cengengesan terus bego. Dia kadang dingin, eh dinginnya sama mantan doang kok" Karin heboh, itu yang selalu dilakukannya ketika mendengar pria ditambah 'cogan'.
Diara berdesis mendapati reaksi Karin yang berlebihan, "gue gak nanya 'siapa' Rio. Gue cuman nanya 'lo tahu' Rio" ia menekankan kata 'siapa' dan 'lo tahu' untuk menjelaskan semuanya pada Karin. "Gue butuh nama lengkapnya aja"
Wajah Karin berubah menjadi wajah melas, dan Alena teman sebangku Diara sekarang mengelus dadanya mendapat hantaman yang berat kepada karin.
"anjrit! Kok dada gue sesek ya" Karin ikut mengelus dadanya dengan pura - pura menangis. Kemudian wajahnya seketika berubah menjadi wajah datar seperti semula, "Rio Alvalerino"
Diara terdiam sesaat, matanya menatao kosong ke senbarang arah. Seperti sebuah film, otaknya terus memutar tayangan dimana untuk pertama kalinya ia merasa penasaran terhadap seseorang yang bahkan tidak dikenalnya.
Alena menatap Diara dengan pandangan yang sulit diartikan. Tidak biasanya, sahabatnya itu menanyakan tentang seseorang. Terlebih itu seorang pria. Cukup aneh memang, tapi itulah kenyataannya.
"Ra" Alena memanggil Diara, namun Diara tak bergeming.
"Ra!" Kali ini Karin yang memanggil Diara, dengan mengguncang bahu Diara pelan. Namun Diara tetap tidak memyahut.
Sesaat Karin mengalihkan pandangannya pada Alena, mereka bertatapan penuh arti, lalu–
"DIARAAAA...." Teriak Karin dan Alena berbarengan, tepat disamping telinga Diara.
"Apa? Eh– iya apa?" Diara tersentak, ia menyahut dengan gelagapan.
"Lo kenapa? Apa yang lo pikirin?" Tanya Karin. Alena hanya mengangguk setuju.
"Oh? Enggak" Jawab Diara, ambigu.
Karin dan Alena hanya memutar kefua bola mereka, terlalu bosan dengan jawaban Diara.
Diara memang jarang, bahkan hampir tidak pernah membagi pikiran apalagi hatinya pada ornng lain, meskipun itu sahabatnya sendiri. Jangan tanya kenapa, karena Diara akan menjawab,
'Ini otak gue, pikiran gue. Gue yang mikir, kenapa lo mesti tahu? Jangan tanya soal masalah gue, lo juga gak bakal bisa bantu"
Selain itu Diara juga jarang bicara. Sangat jarang bahkan. Baginya, banyak bicara cuma menghabiskan waktu yang berharga.
KAMU SEDANG MEMBACA
NOTHING [like us]
Teen FictionGue Diara, Diara Aquena. orang bilang gue cuek, dan gak peduli sekitar, iya. gue gak peduli sekitar, tapi ketika gue penasaran sama satu hal, gue akan cari tahu sampai gue bener - bener tahu dan jadi orang yang paling tahu.