#1. Beauty : I Hate Him At the First Sight

391 42 15
                                    

Aku mematut wajahku di cermin, rasanya menyenangkan sekali melihat pantulan di kaca itu tersenyum. Semakin memperindah wajahku. Aku mengoleskan lipstick berwarna natural sebagai sentuhan terakhir yang membuat wajahku semakin berseri.

"Gosh, look at me! I'm so beautiful." Kataku pada kaca dan mulai memajukan bibir untuk mencium pantulan wajahku dari jauh.

Semua orang bilang kalau aku cantik, jadi aku juga berhak memuji diriku sendiri. Mungkin sedikit narsistik tapi siapa peduli, yang paling utama hanya ada satu hal : aku cantik.

Cantik yang juga dibarengi cantik otak. Aku tidak mau menjadi barisan wanita bertampang indah tapi berotak kosong. Aku ingin segala hal di dalam diriku sempurna. Jadi, aku berusaha untuk belajar. Hingga akhirnya aku berhasil menembus persaingan yang cukup sulit di Harvard Law School! Ya, kalian tidak salah membaca. Aku masuk universitas nomor satu dunia itu!

Rasanya masuk kesana seperti menang judi di Vegas. Inilah yang menyenangkan menjadi anak pintar, berhasil mencapai suatu tujuan tapi belum puas sampai titik darah penghabisan.

Aku mengambil jurusan hukum. Bukan tanpa alasan karena aku memang suka dunia itu sejak kecil. Ibu dan Ayahku berasal dari dunia hukum. Ayahku bahkan masih menjadi Partner di biro hukum ternama New York sampai detik ini. Sedang ibuku juga bekerja di biro yang sama dengan Ayahku. Dulu. Karena sekarang ibuku sudah tenang di alam berbeda.

Ibuku meninggal sesaat setelah melahirkan aku. Kehamilan ibuku lemah dan ibuku tetap memaksakan diri untuk tetap bekerja di biro sampai tengah malam. Associate memang dipaksa untuk terus berperang dengan jadwal tabungan jam. Karena semakin lama kita bekerja, semakin bertambah pundi-pundi kita, dan yang penting makin membuka lebar jalur kita menjadi seorang Partner.

Ibuku tidak mau berhenti bekerja, walaupun sudah ayah peringati. Mereka bahkan bertengkar terus karena hal itu. Tapi ayah mengalah. Ibuku terlalu perfeksionis dan tidak mau dianggap lemah oleh orang yang merendahkannya sebagai satu-satunya Associate wanita di biro itu.

Tapi ibuku akhirnya kewalahan. Mungkin waktu di dalam perut, aku protes pada ibuku. Hingga baru masuk bulan ketujuh, aku dipaksa harus dikeluarkan. Aku lahir prematur, dan aku juga kehilangan ibuku di saat bersamaan.

"Mom... bagaimana aku hari ini? Aku cantik sepertimu, 'kan?" tanyaku pada bingkai foto yang tersebar di meja riasku. Di foto ibuku tampak cantik dengan gaun putih dan perut yang buncit.

Aku mencium foto itu dalam-dalam. Memang rasanya tidak nyaman karena tidak pernah tahu bagaimana punya seorang ibu. Tapi aku beruntung masih punya ayah yang begitu luar biasa. Beliau sangat setia dengan pasangannya, bayangkan dia tetap tidak melirik wanita lain setelah kematian ibu!

Aku mengeluarkan ponselku dan langsung menghubungi Dad lewat video call.

"Dad..." Aku melambaikan tangan bersemangat ke arah ponselku. Disana Dad pun membalas lambaian tanganku. "How do I look today?"

"Beautiful. As always."

"I know. Aku mirip sekali dengan Mom, bukan?"

"Tentu. Kau anaknya. Sudahkah kau mencium Mom hari ini?"

"Mom selalu menjadi prioritas utamaku, Dad."

"Kau benar-benar mirip ibumu, kecuali..."

"Kecuali apa?!" tanyaku penasaran sekaligus tidak terima. Aku ingin sepenuhnya mirip ibuku.

"Kecuali tingkah manjamu. Mom tidak pernah manja."

Bibirku semakin tertekuk. "Aku tidak manja, Dad.  Aku bahkan tinggal sendiri di tempat ini."

Beauty and the Bastard [H.S] ->> Slow UpdateWhere stories live. Discover now