Namaku Indri. Aku tinggal di sebuah desa di kaki gunung. Udara di desa kami masih sangat alami. Menyegarkan. Setiap liburan sekolah, anak-anak dari kota besar sering berlibur di desa kami sembari mengunjungi kakek atau nenek mereka. Ada Angel, Bisma, Metta, dan banyak lagi. Para pendaki gunung juga sering mampir ke desa kami untuk membeli makanan. Penduduk desa kami adalah orang-orang yang sangat ramah, jujur, dan bertanggung jawab, sehingga keamanan di desa ini sangat terjamin.
Seperti biasa pada saat liburan, teman-teman kami dari kota datang berkunjung. Mereka membawa teman-teman mereka yang ingin mendaki gunung. Ternyata mereka sudah mendengar tentang keindahan desa kami. Dalam waktu singkat kami sudah merasa akrab dengan anak-anak kota itu. Mereka mengajak kami pergi bersama. Waktu kecil kami sering main-main di hutan gunung tersebut, tapi sampai sekarang kami belum pernah mencoba pergi ke puncak. Meski di desa di kaki gunung sering terdengar mitos-mitos yang mengerikan, tapi orang di desa kami tidak percaya takhayul. Kami percaya pada Tuhan yang melindungi kami.
Singkat cerita, kami mendapatkan izin dari orang tua masing-masing untuk menemani anak-anak kota yang sedang berlibur. Kami berangkat setelah shalat subuh agar sampai di puncak sesuai waktu yang ditargetkan. Kami membawa bekal yang cukup. Malam ini kami akan berkemah di puncak gunung. Kami bersemangat memulai perjalanan, membayangkan kami akan berada dipuncak gunung yang memberi kami udara yang segar dan menyuguhkan kami pemandangan yang indah selama ini.
***
Sudah tiga jam kami berjalan. Belum ada di antara kami yang merasa lelah. Tidak jarang kami menemukan pohon yang berbuah lebat. Aku belum pernah melihat buah seperti ini di desa, begitu pula teman-teman yang lain. Meski tidak tau itu buah apa, kami tetap mengambil dan memakannya sebagai cemilan setelah memastikan buah-buah tersebut tidak berbahaya. Beberapa kali kami menemukan sumber mata air yang sangat jernih. Air-air inilah yang mengalir sampai ke desaku.
"Eh gue kira disini kita bakal nemuin hewan-hewan yang berbahaya gitu. Ternyata disini aman banget, ya," aku Vina. Kami mengangguk setuju. Memang perjalanan ini terasa aman sekali. Bahkan kami tidak melihat seekor pun nyamuk.
"Kita aman selagi kita nggak macam-macam. Bagaimanapun, ini gunung. Tetap berbahaya meski terasa aman," ujar Rafael mengingatkan. Dia benar. Kami harus tetap waspada.
"Eh, eh, sini deh. Di batu besar itu kita boleh nulis nama kita, kan? Kita tulis nama kita masing-masing dan berharap semoga persahabatan kita ini abadi," usul Vina.
"Seperti kenangan perjalanan pertama kita ke sini," sambung Bisma. Lalu satu persatu kami mengukir nama dengan batu. Di bagian bawahnya tertulis "Friendship".
Setelah beristirahat sejenak, kami kembali melanjutkan perjalanan. Ternyata perjalanan kami tidak lagi aman. Beberapa dari kami terus menoleh ke belakang dan ke samping. Mereka merasa diikuti.
"Kalian ngerasa ada orang lain selain kita nggak, sih?" tanya Angel.
"Wajar aja ada orang lain. Ganjil juga rasanya kalo cuma kita yang mendaki hari ini," jawab Bisma.
"Tapi dari tadi emang cuma ada kita. Gue nggak liat siapa-siapa."
"Mungkin masih jauh."
"Tapi gue ngerasa... ah sudahlah. Mungkin imajinasi gue aja."
"Mulai lapar, nih. Makan dulu, yuk," ajak Metta. Kulihat teman-teman lain sudah mulai lelah karena lapar, padahal belum lama sejak kami beristirahat. Akhirnya, kami makan di sebuah tempat yang tidak terlalu semak. Kami membentuk sebuah lingkaran. Saat kami sedang makan, tiba-tiba jatuh seekor ular kecil tepat di tengah lingkaran yang kami ciptakan. Kami semua kaget dan berteriak sambil berdiri menjauhi ular itu. Ular itu kecil, tapi cukup mematikan. Dicky mengambil kayu untuk mengusir ular itu. Tapi saat tangan Dicky menyentuh kayu, ular itu menggigit tangannya. Padahal sedetik yang lalu ular itu masih berada di tengah-tengah bekal yang sedang kami makan. Apakah ular itu terbang? Tidak mungkin. Setelah menggigit tangan Dicky, ular itu langsung pergi.