Maafkan Aku Viana...

93 0 0
                                    

Aku dan Viana sudah berteman sejak kami berumur 4 tahun. Kami sangat akrab, ke mana-mana pergi bersama, berebut makanan dan pakaian, menangisi burung yang mati, berlomba lari paling cepat, yaaah, pokoknya suka dan duka kita jalani bersama-sama. Rupa-rupanya semua ini harus selesai ketika kami berumur 8 tahun. Viana harus pergi ke Singapura karena papanya mendapatkan dinas kerja di sana. Aku tidak tahu apa itu dinas, apakah seperti bermain? Yang jelas, aku tidak mau berpisah dengannya; begitu pula dia. Namun apalah daya dua orang anak kecil? Kami hanya bisa menangis dan melewatkan detik-detik terakhir kami berdua, melakukan apa yang pada akhirnya tidak bermakna sama sekali karena kami kebanyakan berargumen.

Waktu semakin sempit, aku semakin tidak mau kehilangan dia, teman baikku. Ketika kulihat Viana dan keluarganya keluar dari rumahnya dengan koper-koper yang begitu besar, aku langsung menyerbunya dan merangkulnya agar dia tidak bisa pergi. Lagi-lagi, apalah daya seorang anak kecil? Apapun rengekanku tetap tidak akan bisa membuat Viana tinggal di sisiku.

Viana berjanji bahwa ia akan mengabariku sesampainya di sana, sehingga pertemanan kami tetap berlangsung selamanya.

“Sudah donk Anita, aku kan tidak pergi selamanya. Aku bisa kembali lagi ke sini saat liburan. Kalo gak ada liburan juga, aku akan bujuk papa untuk mengadakan trip ke sini lagi.” Mata Viana berkaca-kaca dan ingus mulai mengalir dari lubang hidungnya.

Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalaku dan merangkulnya erat-erat. Aku tidak mau dia pergi. Aku tidak mau. Aku harap dia tidak jadi pergi. Mengapa sih di dunia ini harus ada perpisahan menyebalkan seperti ini?

Aku dapat merasakan air mata Viana di bahuku. “Aku juga janji, aku bakal selalu nelpon kamu, Nit! Aku janji bakal ngirimin kamu surat setiap hari!” sumpahnya sungguh-sungguh dengan suara serak dan putus-putus.

Aku yakin dia sama sedih dan tidak mau meninggalkan aku juga. Dapat kurasakan tangannya mencengkram pundakku dengan erat, aku yakin kuku-kukunya meninggalkan bekas. Aku tidak peduli. Aku… aku tidak boleh membuat Viana menjadi lebih sedih lagi, meskipun aku tidak mau dia pergi…

“Janji ya, Via! Janji…” pesanku sambil merangkulnya, berharap tidak akan melepaskannya.

Lalu kami pun menangis meraung-raung bagai singa, lama sekali, sampai-sampai orang tua kami harus memisahkan kami. Detik itu juga, Viana menaiki mobil itu bersama orang tuanya dan menghilang dari hadapanku untuk selamanya.

Selamanya? Ya, kupikir aku tidak akan pernah melihatnya lagi. Hari demi hari berganti, aku selalu menantikan telepon Viana. Setiap hari aku berada di depan telepon rumahku, berharap agar benda itu berdering dan terdengar suara Viana, menyapaku dengan suara cerianya. Namun, Hari menjadi minggu, minggu menjadi bulan, deringan itu tidak pernah datang.

Mungkin dia lupa nomor telepon rumahku. Viana memang kesulitan dalam menghafal nomor. Mungkin dia akan mengirim surat, karena dia hafal alamat rumahku.

Itulah yang kukatakan pada diriku agar aku tidak putus asa. Aku tidak mau percaya bahwa Viana melupakan aku, walau hanya sehari. Sebagus apa sih Singapura? Aku tidak percaya.

Tapi satu pucuk surat pun tak kunjung datang, Saat itulah, aku mulai percaya bahwa Viana melupakanku. Sejak itulah aku mulai membenci dan melupakan Viana. Foto-foto kami berdua kumasukkan ke dalam kardus dan kusimpan jauh-jauh dariku hingga aku sendiri tidak tahu lagi keberadaannya. Barang-barang kesukaan kami, aku buang semua.

Aku tidak butuh teman yang semudah itu melupakanku. Aku tidak butuh Viana. Aku bisa kok hidup tanpa dirinya, aku bisa. Dunia belum berakhir, pikirku penuh dendam.

Dan perlahan-lahan aku berhasil melupakan Viana. Kini aku duduk di bangku SMA, menjalani hari-hariku sebagai siswa biasa. Dan, di sinilah kisah ini dimulai, kisah yang aneh dan mencengangkan. Aku tidak percaya…

Maafkan Aku Viana...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang