Berjuang Rasa Akhir

117 18 9
                                    

Kamu harus janji, akan memberi kesan(komentar) oke? Votenya jangan lupa.

Setelah kamu janji, kamu boleh membacanya!

+++

Pertama, Ara ingin menceritakan bagaimana Ara ketemu Dion. Satu satunya cowok yang bisa membuat Ara menggigit jari, merutuk jantungnya yang sepertinya akan rusak dan menyuruh Ara mencari pengganti yang baru. Cuma Dion.

Ara saja nggak tahu apa yang bisa membuatnya seperti ini.

Ini sama seperti Dita bilang, kalau Ara ini bego banget dalam hal berbau seperti ini. Seperti Ara ini adalah salah satu orang yang berpakaian pink di saat yang lainnya memakai baju berwarna putih. Perumpamaan seperti itulah.

"Ara, nggak jadi ke kantin?"

Sebenarnya, Ara ingin mengatakan tidak. Ini adalah posisi nyamannya di kelas. Duduk menyender di dinding. Nyaman. Malas. "Jadi kok," dan selalu begitu. Mengatakan yang sebaliknya yang ada di hati. Memang sebenarnya begitukan?

Dita mengangguk pelan. Mereka berjalan kekantin beriringan. Dita asik cerita, Ara asik mengedarkan pandangannya. Walau kemungkinan kecil yang Ara dapatkan. Dion seniornya dan Ara junior. Perbedaan yang sangat mencolok dan pasti sudah ada perbedaan tempat belajar. Walau sama-sama satu sekolah, tetapi kelas Dion berada di lantai atas.

"Siomay?" Tanya Dita. Cewek itu melirik Ara yang asik mencari bangku kosong untuk makan.

Ara menggeleng, "Roti aja, Dit. Terserah deh, asal jangan mocca. Gue nggak suka." Balas Ara. Cewek itu meninggalkan Dita yang berdiri di depan pintu kantin. Berjalan menuju meja kosong.

"Eh- ini gue baru aja mau duduk, masa-

Ara kikuk. Ucapannya berhenti saat melihat lawan bicaranya. Kalau begini sih, Ara mending nggak usah ke kantin. Duduk anteng di kelas sambil baca wattpad bukan hal yang membosankan kok.

"Aduh maaf Ka, gue nggak tahu. Gue nyari meja lain aja deh kalau lo mau duduk disini." Ara sudah siap berdiri.

"Nggak usah, disini aja nggak apa-apa kok. Lagian mejanya udah penuh, lo mau duduk mana?" Suaranya seperti cowok biasa. Serak.

Ara mengedarkan pandangannya. Dan yah, penuh. Sangat. Bahkan oksigen saja rebutan. Seinget Ara, kantin biasanya tidak seramai ini. Ada apa ya? Ah, Ara nggak peduli. Ara duduk di bangkunya lagi dengan lesu. Padahal Ara tidak ingin membuat jantungnya berdegup kencang seolah-olah jantungnya tidak ingin mendekam di dalam tubuh Ara. Dan Ara mencoba tidak peduli. Bukan. Ara mencoba tidak peduli kalau di depannya adalah Dion. Cowok yang berhasil membuat Ara selalu merasakan getaran seperti ini.

++++

Dari kejadian tersebut, Ara dengan Dion lumayan dekat. Bahkan, Ara sering mengobrol via pesan dengan cowok itu sampai pagi menjelang. Mengabaikan rasa jantungnya yang selalu tidak lelah.

"Ara mau pulang?"

Ara menoleh, "Eh-" Cewek itu menggaruk belakang tengkuknya. "Iya nih, nunggu dijemput Ayah. Kenapa nggak pulang Ka?"

Dion tekekeh melihat tingkah Ara. "Mau bareng nggak?"

Ah, sudahkah Ara mengatakan jika ia sering pulang bersama dengan Dion? Mencium aroma parfum dengan jelas. Lalu kemudian, Ara merasakan kakinya melemas. Parfum Dion begitu memabukkan! Astaga.

"Nggak usah. Ayah katanya uda dekat kok," Jawab Ara saat melihat sesuatu di benda berlogo apple itu.

"Ya sudah, kalau gitu gue temenin gimana?"

Berjuang Rasa Akhir [1/1 END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang