Sejenak ku coba memejamkan mata menikmati desir angin di malam hari dari tempat ini. Aku selalu suka menikmati malam sembari duduk di kursi kayu panjang yang bapak letakkan di belakang rumah bersama segelas teh hangat. Ah, akhirnya aku memiliki waktu setelah banyak pekerjaan yang harus kukerjakan seharian. Sebenarnya tidak banyak. Hanya saja aktivitas sosial bukanlah perkara yang mudah untuk aku tangani. Bertemu banyak orang hanya akan membuatku semakin lelah. Tadi siang saja aku tak sempat menyentuh sepiring nasi yang telah disediakan bapak untukku. Tentu saja aku sudah merajuk dan berkata, "lelah". Namun senyum yang beliau tunjukkan mampu membuatku langsung bungkam.
Hidup tidak pernah menjadi mudah untuk kami. Jauh dari tempat dimana bapak dan almarhumah ibu berasal, haramayn. Bahkan jika kami mampu untuk kembali kesana, berat langkah kaki meninggalkan jasad ibu yang terbaring di tanah Mataram ini. Tidak ada yang dapat menggantikan kesetiaan ibu yang mampu bertahan menemani bapak menyeberang pulau-pulau dan akhirnya menetap disini. Tentu saja aku sangat penasaran seperti apa Haramyn itu. Aku ingin tahu seberapa ramai Pelabuhan Hijaz. Dan terlebih, aku ingin tahu keluarga besarku disana seperti apa rupanya.
"Fathimah, Fathimah!"
Tiba-tiba suara khas itu mengganggu istirahatku. Bisakah dia datang esok hari? Membuatku kesal saja.
"Aku akan menikah Fathimah!" serunya sambil berlari ke arahku.
"Jika kau berlari seperti itu, rasa-rasanya kamu belum pantas menikah, temanku. Dan berani-beraninya kamu datang ke rumahku selepas isya'. Sudah malam. " jawabku ketus.
Aku sudah mendengar kabar ia akan menikah sejak pagi tadi. Bagaimana tidak? Calon suaminya adalah putra dari teman baik bapak. Siapapun akan berbahagia bisa menjadikan temanku itu sebagai menantunya. Ia cantik, keluarganya bangsawan terkemuka, pun baik budinya.
"Dia... putra dalang terkemuka Keraton. Dia yang pernah menolong kita saat itu. Bukankah takdir adalah hal yang menakjubkan Fathimah? Aku bahkan hampir lupa seperti apa rupanya. Tapi ketika dia dan bapaknya datang, aku untuk pertama kalinya berbahagia dengan keputusan keluargaku untuk menyetujuinya. Jika kamu tahu kebaikan hatinya, Fathimah, aku yakin kamu pun akan sudi menjadi istrinya. Semua pelayan dirumahku bahkan pernah ditolong olehnya! Pantaskah aku menikah dengan orang sebaik itu Fathimah?"
Aku mencoba tersenyum memandangnya bertingkah seperti itu.
"Di rumahmu ada cermin kan? Kau cantik temanku, baik pula. Takdir memang suatu hal yang tak terduga."
Sepertinya mendengar pujianku untuk pertama kali dalam hidupnya, sangat menyentuh hatinya. Ku lihat butiran air mata siap menderas. Ah, dia benar-benar seseorang yang baik budi juga lembut hatinya.
Sebelum ia mulai menangis menyebalkan seperti biasanya, aku mengalihkan pandangku ke arah sawah yang membentang di belakang rumah. Kunang-kunang dengan cantik menari diatas padi milik kami. Aku pun menghela nafas sembari hatiku bergumam, tidak apa-apa Fathimah. Sejak awal, aku tahu tidak akan pernah baik bagiku menyimpan kekaguman pada lelaki itu.
YOU ARE READING
Selamat Jalan
Historical FictionFathimah, gadis 15 tahun tinggal di Mataram (islam) bersama sang bapak. Demi selalu dekat dengan makam ibunda, Fathimah dan bapak memutuskan untuk tetap tinggal dan tak lagi kembali ke Haramayn. Kisah ini dimulai ketika seseorang yang diam-diam tela...