Aku masih ingat senyum nya saat kali pertama bertemu. Terekam dengan jelas ditelingaku, nafasnya yang terengah-engah. Ia terdengar lelah. Meski demikian, persis seperti sahabatku, ia tak mengeluarkan sepatah katapun keluhan.
Sudah lebih dari setengah hari aku bersama dengan pelayan-pelayan milik keluarga sahabatku memasak di dapur. Aku hanya membantu sekadarnya karena memang aku sedang belajar memasak. Meski selalu sahabatku dengan raut tak sukanya mencegahku dari melakukan pekerjaan di dapur. Memang ini hajatan keluarganya sebagai rasa syukur atas panen yang melimpah, tapi rasanya tanganku gatal jika tak menyentuh peralatan dapur sehari saja. Lagipula menurutku, pelayan-pelayan sudah cukup lelah memasak di hari kedua ini.
"Fathimah, tolong bantu aku menata beberapa kain batik di kamarku. Jadi, segera selesaikan pekerjaan dapurmu dan ke kamarku. Aku akan menunggumu. Mengerti?"
Sahabatku pergi begitu saja setelah mengatakan senjata terakhirnya untuk membuatku menghentikan pekerjaanku di dapur. Tentu saja itu bentuk perhatiannya. Tapi perhatian yang bagiku menyebalkan.
Meski begitu, aku segera membersihkan bajuku, mencuci tanganku serta mengupas beberapa mangga yang sempat aku ambil ketika memanjat pohon tadi pagi. Potongan mangga kuletakkan dengan rapi diatas piring keramik. Dan dengan ceria kulangkahkan kakiku menuju kamar sahabatku.
Namun, baru beberapa langkah sekelebat sosok tak sengaja menyenggol piring keramik yang kubawa.
"Prang," piring keramik pecah begitu saja.
Aku hanya dapat menatap potongan-potongan mangga yang berjatuhan dengan mulut terngaga.
Dan sosok yang menyebabkan kejadian menyebalkan itu terjadi mematung dan segera menyadari kesalahannya.
"Ah, maafkan saya. Saya tidak melihat.. Ah, saya melamun tadi. Sungguh maafkan saya."
Aku, dengan segala kepenatan yang kutahan-tahan, segera membalas,
"Kalau kamu sungguh merasa bersalah. Ganti potongan-potongan mangga yang kamu jatuhkan ke tanah."
Tak sempat melihat raut mukanya, aku segera pergi dengan langkah tergesa. Meninggalkan pecahan piring keramik dan potongan mangga berserakan diatas tanah.
Begitulah. Ketidakdewasaanku yang muncul disaat-saat yang tidak terduga. Tapi mungkin itulah yang dinamakan takdir. Apapun kejadian yang terkadang sulit sekali terpikir hadir secara kebetulan.
Aku menghabiskan soreku di kamar sahabatku. Semua kekesalanku tentu saja sirna bahkan berganti kebahagiaan. Merapikan kain, mengobrol, menjahit, juga merencanakan petualangan apa yang ingin diam-diam kita lakukan. Seperti pagi tadi misalnya, aku dengan beraninya memanjat pohon mangga dan sahabatku menjagaku dari bawah. Pohon mangga itu tentu milik keluarga sahabatku. Hanya saja, rasanya tidak sopan gadis seperti kami bertingkah seperti itu.
Matahari terlihat akan segera terbenam, pertanda waktu maghrib sebentar lagi datang, aku pun bergegas pulang. Bapak tak akan suka putrinya berkeliaran saat maghrib. Baru beberapa langkah keluar dari pagar rumah sahabatku, seorang laki-laki menyapaku. "Maaf," ujarnya terengah-engah sembari memberikan sebuah mangkuk. Aku menerimanya dengan bingung. Siapa dia? Lelaki itu hanya tersenyum dan pergi dengan segera. Saat kubuka isi dari tutup mangkuk, barulah kusadari bahwa laki-laki itu yang menjatuhkan piring keramikku siang tadi. Ah, betapa malunya. Bahkan aku begitu angkuhnya tak menjawab permintaan maafnya.
YOU ARE READING
Selamat Jalan
Narrativa StoricaFathimah, gadis 15 tahun tinggal di Mataram (islam) bersama sang bapak. Demi selalu dekat dengan makam ibunda, Fathimah dan bapak memutuskan untuk tetap tinggal dan tak lagi kembali ke Haramayn. Kisah ini dimulai ketika seseorang yang diam-diam tela...