Bagian I

6 0 0
                                    

Aku adalah salah satu dari sekian banyak orang yang menyukai hujan. Bunyi tetesan air yang jatuh mengenai benda, apapun itu, terdengar sangat harmonis. Bau tanah setelah terkena air hujan, udara sejuk setelah hujan berhenti --aku menyukai semuanya. Banyak momen indah dalam hidupku yang terjadi saat hujan.

Sore itu, hujan dengan derasnya turun. Walaupun aku sangat menyukai hujan, namun tidak bisa aku elakkan bahwa hujan juga menbuatku kerepotan. Kakiku melangkah cepat, dan berhenti di depan sebuah cafe. Ragu sejenak, akupun memutuskan masuk kedalam.
Bau kopi dan suasana vintage membuat cafe tersebut terasa nyaman dan hangat. Aku memilih tempat duduk di ujung samping jendela agar bisa menikmati hujan. "Hujannya deras sekali, padahal akhir-akhir ini cuaca selalu panas," satu suara mengagetkanku. Aku menoleh. "Ah, maaf, aku belum memesan apapun," jawabku gugup. Rupanya sudah ada waitress yang menungguku daritadi. "Tidak apa-apa," ia tersenyum sekilas, "mau pesan apa?" "emm, hot chocolate dan brownies." Ia sibuk mencatat pesananku, kembali menatapku dan tersenyum, "cuaca seperti ini cocok minum yang hangat. Pesanan anda akan saya buatkan sebentar lagi," dan ia pun berlalu. Aku kembali menatap ke luar jendela, hingga tiba-tiba ponselku berbunyi. "CIA, KAU DIMANA??" ada suara keras sekali dari ujung sana, sepertinya ia setengah berteriak. "Mag, tolong kecilkan sedikit suaramu. Bisa sakit telingaku kalau kamu teriak terus," jawabku sebal. "Aku ada di cafe oldwood. Iya dekat perpustakaan. Hujan deras maggie sayang, aku tidak bisa langsung kesana. Iya tenang saja, aku segera menyusul ke rumahmu ketika hujan berhenti. Oke, bye, seeyou." Aku meletakkan ponsel dengan asal dan mendengus pelan.
Maggie, 21tahun, seumuran denganku namun sangat manja. Ia selalu diberi kemewahan oleh orang tuanya sehingga ia tidak ada niatan untuk bersusah payah mencari uang. Sahabatku sejak aku berusia 15tahun. Suka bergonta-ganti pasangan.

Brownies dan hot chocolate cafe ini sangat nikmat. Aku sangat menikmati sore itu dan untuk kesekian kalinya, tidak menyesal hujan turun deras tadi. 20menit kemudian, aku tiba di rumah Mag. "Acacia sayang, kenapa lama sekali??" aku berdecak kesal, "ayolah Mag sayang, diluar hujan deras dan kau mau aku datang ke rumahmu menembus hujan? Aku masih cukup waras memperhatikan kesehatanku." Mag tertawa, "kau memang lucu. Lihat digoda begitu saja kau sudah manyun-manyun," aku melihatnya sinis. Aku melangkahkan kaki ke sofa diujung kamarnya. "Aku bingung, Mag." Maggie menyusulku dan merangkulku. "Ada apa?" "Perpustakaan tempatku bekerja, katanya akan ditutup. Jarang ada orang yang mau ke perpustakaan dan si pemilik mau menutupnya. Padahal aku sangat menyukai pekerjaan itu, aku sangat suka perpustakaan dan isinya. Aku harus bagaimana.." aku mengakhiri ceritaku dengan membuang nafas panjang. Mag terdiam. Ya, jelas. Dia adalah sahabatku yang tidak memiliki ketertarikan terhadap buku, perpustakaan, dan tentu saja pekerjaanku. Tapi sekarang dahinya mengernyit seakan berpikir. Aku tertawa pelan, "tidak usah sok berpikir seperti itu. Aku tau kamu tidak memikirkan apa-apa," "kurang ajar, bagaimana kau bisa tahu? sudahlah, aku mau mandi dan bersiap-siap. Kau jadi ikut makan malam kan?" "hah? makan malam apa?" "ya Tuhan, si beruang polar itu belum memberitahumu?" aku terdiam. "astaga Maggie, sampai kapan kamu menjuluki ibumu sendiri beruang polar?" "sampai ia bisa mengurangi berat badannya. Ia semakin berat, Cia. Ia semakin seperti beruang polar yang gendut dan putih." Aku tertawa keras. "Baiklah, aku tidak ada pekerjaan menumpuk malam ini jadi aku bisa ikut. Tapi pinjamkan aku dress? Aku tidak membawa apapun" "Siap bocah perpustakaan. Asal nanti kau juga mandi dulu," Aku mengangguk asal dan Maggie melanjutkan, "kalau gitu, aku mandi dulu. Jangan mengintipku!" ujarnya setengah berteriak sambil masuk kedalam kamar mandi. Aku menggeleng pelan, "dasar anak mesum," batinku.

Aku mulai melihat-lihat kamar Maggie. Padahal baru seminggu tidak kemari tetapi sudah banyak barang baru yang tidak aku lihat sebelumnya. Vas bunga baru, alat kosmetik baru, lampu meja yang baru, dan.. pigura?
Aku mengambil pigura itu dan asik mengamati, hingga tiba-tiba aku tersadar dan refleks menutup mulutku,
"orang itu.." batinku pelan.
Mata coklat hazelnya, rambutnya yang agak bergelombang, senyumnya yang manis, dan tatapannya.. sanggup membius semua wanita yang melihatnya.
Aku berdiri kaku, beragam memori dan potongan kisah bermain di kepalaku.
'Lelaki itu,
Lelaki itu..." gumamku berkali-kali sambil berusaha mengingat siapa.
Aku membawa pigura itu ke sofa dan aku duduk disana. Terdiam, tak bergerak. Otakku sibuk berpikir, menyusun setiap kisah, berusaha mencari tau identitas lelaki yang ada di pigura tersebut.
Sesaat kemudian, aku merasa sesak.
Mataku mulai basah, dan dadaku terasa sangat nyeri.
Aku memberanikan diri melihat mukanya sekali lagi.
Aku menggumam saat tubuhku bergetar hebat,

"Dia, rupanya.
Iya, pasti. Aku tidak salah.
Itu dia...."

------------------

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 03, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Winter's HollowWhere stories live. Discover now