Tuan Teh dan Nona Kue

495 92 66
                                    

Sejak aku menempatkan bokongku di atas kursi siang tadi, tak kutemukan batang hidung Tuan Teh dan Nona Kue di sudut kafe manapun. Tadinya kupikir mereka sedang menghabiskan waktu berjalan-jalan mengitari kota sambil berbincang santai dan menyebabkan keduanya agak terlambat dalam menjalankan rutinitas mingguan mereka.

Omong-omong, Tuan Teh adalah sebutan yang kuberikan untuk Kakek Erik, beliau sangat menyukai teh dan selalu memesannya setiap bertandang ke kafe milik Tante Sari. Dia mungkin berumur sekitar enam puluh tahun, rambutnya mulai beruban namun dia tidak pernah mengecatnya, katanya karena Nona Kue menyukainya.

"Dia bilang dia menyukai ini, Nak, bagaimana bisa aku mengecat rambutku jika kenyataannya dia menyukai semua ini," kata Tuan Teh satu waktu ketika Nona Kue pamit ke toilet dan aku menghampirinya.

Aku mengangguk-angguk saat itu. Mungkin, orang-orang melihat bagaimana datarnya wajahku kala itu, mereka hanya tidak mengerti bahwa kenyataannya gadis batinku berjingkrak-jingkrak. Bagiku, itu adalah kalimat romantis yang pernah kudengar.

Nona Kue adalah sebutan untuk Nenek Rika, dia sangat menyukai kue dan selalu memesannya ketika bertandang ke kafe, aku bisa melihat bagaimana matanya berbinar-binar saat gigi-giginya yang tua itu mengunyah kue secara perlahan seolah tak ingin kenikmatannya cepat sirna. Umurnya sekitar lima puluh delapan tahun, tidak seperti Tuan Teh yang sudah beruban, rambut Nona Kue masih sangat hitam, dia hampir tak nampak seperti nenek-nenek yang memiliki dua orang anak dan dua orang cucu.

Aku menyukai hubungan keduanya, mungkin ini terdengar aneh, tapi itulah kenyataannya. Aku suka cara mereka memandang satu sama lain, cara mereka mengobrol berdua seolah tak ada orang lain di sana selain mereka, aku suka bagaimana keduanya tertawa saat mengenang kejadian yang telah lalu, aku suka ketika mereka menyanyikan tembang-tembang lawas dengan lirih. Aku suka segala hal yang ada pada keduanya. Mereka penuh cinta.

Aku selalu bertanya pada diriku, kapan seseorang memandangku seperti Tuan Teh memandang Nona Kue? Lebih tepatnya, kapan aku merasakan cinta yang seperti itu?

Cinta yang murni. Bukan cinta menye-menye yang selalu dibanggakan para remaja seumuranku. Bukan cinta yang melihat segala kelebihan, tapi cinta yang melihat kekurangan sebagai kelebihan. Cinta yang abadi dan tulus. Cinta yang tidak pernah kadaluwarsa meski umur terus bertambah.

Aku memandang meja yang biasanya keduanya tempati. Meja itu kosong, hanya ada satu vas bunga. Aku bertanya-tanya ke mana keduanya saat ini? Maksudku, mereka tak pernah seterlambat ini sebelumnya. Apa mereka lupa bahwa hari ini mereka mempunyai jadwal pergi ke kafe? Apa mereka tiba-tiba melupakan arah jalan ke kafe?

Aku terlalu sibuk membuat analisis mengenai apa yang sekiranya terjadi terhadap Tuan Teh dan Nona Kue hingga tak sadar seseorang memanggil-manggil namaku sampai orang itu menepuk bahuku secara tidak cukup pelan, membuatku tersentak kaget dan lamunanku segera terpecah sesaat setelahnya. Secara reflek aku menoleh dan menemukan sosok Deviana yang kini menahan gelak tawanya. Dasar sepupu tidak tahu diri!

"Gue bisa mati tadi!" kataku membuat tawa Deviana pecah, beberapa orang melirik ke arah kami sebelum kembali fokus pada apapun yang tengah mereka lakukan.

"Lo harus lihat ekspresi lo tadi! Sumpah ngakak!" kata Deviana masih dengan sisa-sisa tawanya.

Aku hanya memandang sinis sepupuku itu, tak berniat membalas apapun ucapannya. Tak lama, Deviana berhasil mengontrol dirinya, tawa yang tadi ada pada dirinya kini menghilang.

"Ada apa?" tanyaku akhirnya.

Deviana memposisikan dirinya untuk duduk di sampingku. Ia memadang ke arah meja nomor 11, meja di mana biasanya Tuan Teh dan Nona Kue biasa menghabiskan waktu sore mereka berdua.

Tuan Teh dan Nona Kue ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang