Tok .... Tak-tok... tok trok tok ... taaak! Begitulah bunji serentetan beradunja dua batang kadju, terkadang berhenti agak lama, menjusul lantas berbunji pula dengan tjepat.
Tempat itu adalah sebuah kampung Moa-keh-po diluar kota Wanling di wilajah propinsi Oulam barat. Didepan tiga buah gubuk jang berderetan itu ada seorang kakek sedang menganjam sepatu rumput. Trekadang dia mendongak mengikuti pertarungan antara sepasang muda-mudi dilapangan djemuran padi sana.
Usia kakek itu kira kira setngah abad namun mukanja sudah penuh keriput, rambutnja lebih separuh sudah ubanan, suatu tanda banjak penderitaan pedjuangan hidup. Tapi waktu itu tampak dia mengulum senjum, ia puas terhadap pertandingan pedang sepasang muda-mudi itu.
Pemudi jang sedang bertanding itu berumur antara 17-18 tahun berwadjah bundar, bermata djeli. Keringatnja sudah membasahi keningnja dan mengutjur pula kepipinja. Ketika ia mengusap keringat dengan lengan badjunja, makin tjantiklah tampaknja gadis itu.
Adapun usia pemuda itu lebih tua dua-tiga tahun daripada si gadis. Berperawakan djangkung, kulitnja hitam, tulang pipinja agak menonjol, tangan kasar, kaki besar, itulah tjiri tjiri khas anak petani.Pedang kadju jang dimainkannja itu tampil sangat tjepat dan lintjah.
Sekonjong-konjong pedang kadju pemuda itu menabas dari atas pundak kiri miring kebawah.
Menjusul tanpa menoleh pedangnja berputar dan menusuk kebelakang. Namun si gadis sempat menghindar dengan mendekan kepalanja, habis itu iapun membalas menusuk beberapa kali.
Mendadak pemuda itu mundur dua tindak, habis itu ia bersuit panjang sekali, pedangnja berputar, tjepat ia menebas ke kanan dan kekiri beruntun-runtun tiga kali. Karena kewalahan, tiba tiba si gadis itu menarik pedangnja dan berdiri tegak tanpa menangkis, bahkan omelnja: baiklah anggap kau lihai, sudah boleh engkau membatjok mati aku!" Sama sekali pemuda itu tak menduga bahwa sigadis bisa mendadak berhenti dan tidak menangkis, padahal tabasan ketiga itu sedang dilontarkan kepinggang lawan. Dalam kedjutnja, lekas lekas pemuda itu hendak menarik kembali serangannja, namun tenaga jang dikeluarkan itu sudah kadung terlalu kuat, "plek", sekuatnja ia kesampingkan pedangnja, tapi tidak urung lengan kiri sendiri terketok oleh senjata endiri. Dalam kaget dan sakitnja tanpa merasa ia menjerit sekali.
Gadis itu tertawa geli, katanja: "Huh, malu tidak kau? Tjoba kalau senjatamu itu adalah pedang sungguhan, bukankah lenganmu itu sudah terkutung?" Wadjah si pemuda jang kehitam-hitaman itu mendjadi merah, sahutnja: "Aku kuatir tabsanku tadi mengenai badanmu, karena itu tanganku sendiri jang terkena. Kalau benar2 mau bertempur dengan musuh, masakan orang mau mengalah padamu? Suhu, haraplah engkau memberi pendapat jang adil? Apa betul tidak kataku ini?" ~ Kata terachir ini ia tudjukan pada si kakek jang masih asjik menjelesaikan sepatu rumputnja itu.
Sambil memegangi sepatu rumputnja jang setengah selesai itu, sikakek berbangkit dan berkata:"Diantara 50-an djurus permulaan kalian itu masih boleh djuga, tapi djurus djurus belakangan makin lama semakin tak keruan." Ia ambil pedang kayu dari sigadis, ia pasang kuda2 dan melontrakan suatu serangan bergaya miring lalu katanja pula: "Ini adalah djurus "Koh-hong-han-siang-lay" (bandjir datang ber-teriak2), menjusul ini adalah "Si-heng-put-kanko" (ketemu lintang tidak berani lewat). Karena melintang maka harus menabas dan tidak boleh menusuk kedepan ...." Sedang kakek itu asyik mentjerotjos dengan teori ilmu pedangnja, se-konjong2 terdengar suara ketawa orang ter-bahak2 dibalik timbunan tjermai sana.
Untuk sedjenak sikakek melengak, tapi setjepat panah ia terus melompat kesana. djangan menjangka sikakek sudah ubanan gerak-geriknja ternjata sangat gesit dan tjekatan, sedikitpun tidak kalah daripada anak muda.
Ia mengira suara orang terbahak itu tentu lagi mentertawai tjaranja dia memberi peladjaran ilmu pedang pada muridnja tadi. Tapi demi melihat siapa orang itu ia menjadi tahu duduknja perkara. Kiranja dibalik timbunan djerami itu berduduk seorang pengemis tua yang lagi sibuk mentjari tuma dari badjunja yang rombeng dan berbau itu lantaran tidak pernah ditjutji.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pedang Hati Suci
General FictionPEDANG HATI SUCI Si-Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Jin Yong • Disadur oleh Gan KL