Siapa yang tahu hidup ini berjalan seperti apa kedepannya. Menapaki satu persatu bongkahan batu yang besar dan kecil, meneliti apa harus terus berjalan atau berhenti sejenak menghela napas panjang untuk menghadapi awan gelap saat hujan. Menyeka peluh yang terus menetes setelah berlari menjauh dari perasaan yang selalu datang mengancam.
Luka di kaki yang terbalut kain putih sudah menjadi kotor dan kembali terluka. Menginjak duri atau pecahan kaca-kaca berserakan disepanjang perjalanan menanjak dan berliku.
Semua itu terasa sakit saat Azure menjadi diam karena Magenta.
Aroma menyegarkan ketika air hujan membasahi tanah kering adalah saat-saat yang selalu membuat Magenta merindu. Saat yang ditunggu karena membawa ketenangan, seperti saat Azure datang menemani Magenta setiap sore.
Magenta menyukainya, menyukai Azure.
Tetapi ternyata, semua tak semudah air hujan yang mengalir menuju lautan lepas. Magenta seperti kapal-kapalan kertas yang terombang-ambing dan menabrak sisi sungai yang meluap.
Ini terasa sangat sulit untuk Magenta.
Magenta mengadah sambil memejamkan matanya merasakan sentuhan rintik-rintik hujan.
"Petrichor"
Aroma tanah setelah hujan turun.
Magenta kini berada di atap sebuah bangunan kosong yang berdebu. Sudah lapuk dan mungkin saja rapuh. Petang ini menorehkan warna jingga keemasan dengan bias-bias sinar yang indah. Petang ini merupakan saat yang paling ditunggu Magenta. Petang ini juga Magenta menghirup petrichor lagi.
Suara klason dan bunyi burung di sore hari menjadi perhatian utama Magenta, menghiraukan tentang seberapa jauh spasi yang ada.
Saat itu ada gadis remaja yang sedang beranjak dewasa untuk mengenal cinta, memulai segalanya. Memulai untuk mengenal, memahami, mendalami dan mencintai. Gadis itu adalah Magenta. Dengan kerudung putih dan kacamata yang bertengger di wajahnya, semua tau, seorang gadis remaja biasa yang bermimpi dan berharap tentang cinta dan pengharapan.
Di atap itu ada Magenta, sekali lagi dia menghirup petrichor.
Tersenyum dengan mata yang semakin menyipit.
"Petrichor, petang, hujan dan---" Magenta berhenti sebentar kemudian melanjutkan, "dan Azure"
Di ujung matanya mengalir cairan bening.
***
Pukul setengah dua siang. Magenta sedang menunggu bis di halte tak jauh dari sekolah, cuacanya mendung dan sayangnya Magenta tak membawa payung, alhasil dia hanya bisa duduk dan berharap bis segera datang dan hujan takkan datang sebelum dia sampai dirumah.
Tapi kehendak tuhan berbeda, hujan deras tiba-tiba turun. Duduk berpangku tangan sambil tersenyum menghitung rintik hujan sejak tadi. Seperti lagu yang selalu terngiang di telinga, tangannya mengetuk-ngetuk kursi dan kakinya menepuk-nepuk ke lantai sambil bersenandung kecil.
"Saat lagu-lagu indah itu berhenti, petrichor datang" Mata hitam pekat dan bibir tipis mengalihkan Magenta, saat ada suara disebelahnya.
"Petrichor?" Tanya Magenta.

KAMU SEDANG MEMBACA
Petrichor, Petang, dan Azure
Short StoryBertemu Azure saat Petang bersama Petrichor