DERANA

55 9 5
                                    

    Hujan deras turun bersamaan dengan dentingan jarum jam yang menunjukkan hari sudah berganti, seolah-olah Peri hujan menyambut awal November dengan kelabu. Derana terdiam di atas tempat tidurnya, matanya nyalang menatap langit-langit kamar yang berwarna putih.

    Lampu-lampu sudah dimatikan, penghuni rumah sudah terlelap sejak beberapa jam yang lalu. Hanya gadis itu yang masih terjaga, pikirannya berkelana tak tentu arah. Otaknya bekerja dua kali lebih giat malam ini sampai-sampai insomnia kembali menyerang.

    Derana menghela napas, kentara sekali gadis itu letih. Mimpinya dua hari yang lalu berkelebat di pikirannya. Langit mendung, orang-orang hilir mudik mengenakan pakaian serba hitam, sebagian menangis dan sebagian lagi sibuk berbicara dengan suara rendah.

    Ada apa? bisiknya bingung.

    Katanya, mimpi bukanlah sekedar bunga tidur. Mimpi adalah sebuah pertanda, sebuah peringatan. Hal itu jelas membuat bulu kuduknya meremang. Dia cemas, bagaimana kalau mimpi yang selama ini membayanginya selama dua hari berturut-turut adalah sebuah pertanda?

    Derana terus berpikir, sampai akhirnya lelah menenggelamkan kesadarannya dalam pekat.

        ****

    Gadis itu meringis kala obat salep mengenai kulitnya yang terluka dan menimbulkan sensasi dingin sekaligus perih. Bibirnya maju beberapa senti, kemudian meniup lukanya beberapa kali untuk mengurangi rasa perih yang tidak kunjung reda.

    Hidupnya berubah seratus delapan puluh derajat sejak lima bulan yang lalu. Saat itu, Ayah menurunkannya di depan rumah besar dengan pagar tinggi dan pekarangan yang terlihat tidak terawat. Cat hitamnya sudah mulai mengelupas dan mengeluarkan bau karat yang menyengat.

Ayah bilang, itu adalah rumah ibunya. Derana tidak pernah bertemu dengan ibunya sejak kedua orang tuanya memutuskan untuk berpisah tiga tahun yang lalu. Hak asuh jatuh ke tangan ayahnya dan Derana tidak pernah lagi melihat ibunya setelah itu. tentu saja Derana merasa gembira, setelah sekian tahun akhirnya dia bisa bertemu kembali dengan ibunya.

Akan tetapi, angan-angan tentang Ibu yang akan membanjirinya dengan limpahan kasih sayang pupus begitu saja beberapa menit setelah mobil ayahnya bergerak menjauhi rumah tua yang tidak terawat itu.

Bukannya diperlakukan seperti seorang putri, Derana malah menyerupai upik abu. Selain disuruh melakukan pekerjaan rumah tangga, Derana juga sering kali mendapat hukuman berupa cubitan di sekujur tubuhnya hanya karena hal-hal sepele. Seperti halnya sore tadi, ibunya memarahinya habis-habisan hanya karena lupa menyiram tanaman yang sudah layu di halaman.

"Derana!"

Teriakan itu menggelegar, terdengar sampai ke kamar Derana yang berada di bagian belakang rumah. Gadis itu bangkit dari kasurnya, kemudian berlari-lari kecil menuruni tangga melingkar dan meluncur ke ruang tengah. Di sana, ibunya tengah memerhatikan televisi dengan tatapan bosan, sesekali jemari lentiknya yang dipoles dengan cat kuku berwarna merah menyala bergerak memencet remote televisi.

"Ya, Ma?" tanya Derana begitu sudah berada di dekat ibunya. tubuhnya bergidik begitu melihat kuku-kuku tajam yang ada di depannya.

"Ambilkan cat kuku hitam yang ada di atas meja," titahnya tanpa memalingkan wajah dari layar televisi. Derana mengangguk patuh, kemudian mengambil cat kuku berwarna hitam yang berbaris rapi dengan deretan cat kuku beraneka ragam yang berada di atas meja dekat kamar ibunya.

Derana menyodorkan cat kuku yang diminta ibunya, setelah itu Ia berbalik hendak kembali ke kamarnya, tetapi teriakan yang nyaring membuatnya membatalkan rencana awal. Buru-buru dihampiri ibunya yang sudah meringkuk di sofa, tubuhnya penuh dengan peluh dan napasnya memburu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 23, 2024 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DERANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang