Aku mendorong pundak Elvan lalu menendang dadanya dengan sekuat tenaga. Berusaha untuk menyingkirkan tubuh besarnya dari atas tubuhku. Beratnya yang berselisih lebih dari sepuluh kilogram semakin menyulitkanku dalam hal ini.
"Berenti anjir. Geli ah" Teriakku garang setelah berhasil memenangkan pergulatan kami. Sudah berulangkali dia melakukan hal seperti ini kepadaku--melihatku dengan tatapan bernafsu menjijikannya, mendekat dengan perlahan, lalu mencoba untuk mencium bagian belakang leherku. Ia hanya sedang berusaha membuatku jijik, karena ia sangat hafal bagaimana sikap anti ku terhadap hal-hal yang vulgar semacam itu. Membayangkannya saja sudah bisa membuatku mual.
"Hahaha. Makanya kalo gue minta lo buat ngakuin gue ganteng, ya lakuin aja. You such a little bad girl tho" katanya tertawa. Ia bangkit dari posisi tersungkurnya lalu mematahkan lehernya ke kanan dan kiri sebelum merapikan celana jeans hitam panjangnya.
Anjir.
Aku menyipitkan mataku selagi menatapnya, berharap hal itu akan menimbulkan efek garang. "Bad girl bad girl, yang ngajarin gue siapa emang ha? Tetangga depan rumah yang tiap hari gonta-ganti om?"
"Lah iya kali. Gue kan gak ngeliatin lo tiap detik. Bisa aja dong? hahaha" Aku sudah mengepalkan telapak tanganku. Bersiap untuk merusak wajah indahnya. Enak saja dia bilang begitu. Memangnya siapa anak nakal dari Australia yang mencemari Vienna kecil nun polos sepuluh tahun yang lalu?
Elvan menyisir rambutnya panjangnya kebelakang lalu menarik ujung-ujung kaos hitamnya yang sempat terangkat saat berusaha untuk menggodaku tadi. Sebenarnya ia tampan, itu adalah fakta yang tidak dapat dibantah. Maksudku dengan rambutnya yang berwarna kecoklatan—yang didapatkannya dari ibuku yang merupakan seorang Australian, rahang yang kokoh dengan bibir tipis yang selalu membuat siapapun tersenyum saat melihatnya tersenyum, dan matanya yang sedikit kehijauan jika kau cukup jeli memerhatikannya di bawah sinar matahari. Banyak perempuan yang rela memberinya apapun hanya untuk menjadi pacarnya. Beberapa teman Australianya bahkan sempat menggodanya dengan menawarkan El beberapa bagian tubuh mereka untuk disentuh. Tetapi yang ku tahu, ia belum pernah pacaran hingga sekarang. Entahlah jika ia memang sengaja untuk tidak pernah menceritakan perempuan beruntung itu padaku. Satu hal lagi, fakta yang sangat ku sesali : Elvan Thomas adalah lelaki yang baik. Tipe lelaki yang takkan enggan membantu seorang nenek menyebrang jalan walaupun ia harus masuk kelas satu menit lagi, tipe lelaki yang akan kau temui sedang bernyayi bersama pengemis hanya karena ingin membantu pengemis tersebut mendapatkan uang lebih banyak, juga tipe lelaki yang tidak enggan memberikan sepatu Adidas yang baru dibelinya dengan harga lebih dari dua juta rupiah hanya karena melihat betapa menyedihkannya hidup penerima sepatu tersebut. Hanya saja, pada saat-saat tertentu kau akan berpihak kepadaku untuk membunuhnya. Ia akan menghancurkan miniatur galaksi bimasaktimu yang kau buat dengan tingkat ketelitian super selama berhari-hari, menjambak rambutmu dari belakang hanya karena tidak memiliki sesuatu untuk dikerjakan, bahkan meneriakkan sesuatu yang berasal dari bahasa planet karena bosan dengan lagu-lagu di playlistnya.
"Gue gak pernah ngajarin lo ya. Lo aja yang ikut-ikutan." Tegasnya sebelum keluar dari kamarku diikuti dengan bunyi debam pintu yang sengaja dibantingnya untuk menimbulkan efek dramatis.
....
Aku besar bersama ayah sementara ibu dan kakak laki-laki ku tinggal di Australia sampai aku berumur 8 tahun. Ayahku adalah seorang Indonesian yang tinggal sekitar dua kilometer dari kawasan Gunung Salak Endah. Ia bertemu ibuku yang seorang Australian saat usianya menginjak 21 tahun. Layaknya lelaki normal lainnya, hati ayahku langsung tertambat melihat wanita cantik berparas bule itu. Mereka berpacaran selama empat tahun hingga akhirnya menikah saat ibuku berusia 23 tahun. Elvan lahir satu tahun kemudaian, dan aku menyusul saat ia berusia empat tahun. Pernikahan orang tuaku dilangsungkan di negara asal ibu, karena menghormati permintaan terakhir grandma sebelum ia meninggal. Alasan utama juga kenapa seluruh anggota keluargaku berkewarganegaraan Australia hingga aku berusia dua tahun. Tepatnya hingga sebelum Ayah yang bekerja sebagai intel harus memenuhi amanat dari nenekku untuk tetap mengabdi pada tanah kelahirannya.
Singkat cerita, Aku dan Ayah besar di kota ini. Kota sejuk yang masih jauh dari kebisingan ala metropolitan. Kesibukan ayah akan pekerjaannya membuatku lebih sering sendirian di rumah. Jika kalian dapat bersenang-senang dengan anak-anak seusia kalian, aku tidak menemukan siapapun disini. Hanya ada seorang anak lelaki pemalu yang tinggal beberapa blok dari rumahku.
Namanya Adam. Kekosongan rumahku menyebabkan aku selalu mengurungnya di rumahku. Ibunya, Tante Lia bahkan selalu menyuruh Adam untuk menginap saat Ayah lembur. Kami juga selalu bersekolah di sekolah yang sama. Aku tidak memiliki teman lain selain dirinya. Dan sifat pemalunya juga menyebabkan ia tak memiliki orang lain yang bisa ia anggap teman. Selain aku tentu.
Bisa dibilang, seluruh hidupku bergantung padanya sampai usiaku 8 tahun. Ibu yang tidak tahan mendengar curahan kesepianku setiap berkunjung akhirnya meminta Elvan untuk tinggal bersamaku. Ia anak yang nakal, dan Vienna kecil sangat membencinya.
Kebiasaan hidup di negara bebas seperti Australia mungkin membuatnya terbiasa dengan menjahili anak perempuan, memakan semua makanan di kulkas tanpa menutup kembali pintunya, bermain di kamar orang lain (kamarku) jika bosan dengan miliknya. Kedatangannya justru membuatku sering menelepon ibu dengan menangis tersedu-sedu. Bilang kalau El adalah bencana, bilang kalau aku ingin mematahkannya jadi sejuta bagian lalu mengunyah semuanya sebelum membuangnya ke tempat sampah dibelakang rumah, bilang bahwa aku sangat sangat membencinya dan tidak ingin tinggal bersamanya.
Bahkan satu hari, aku yang sedang bermain bersama Adam di belakang rumah diganggu habis-habisan olehnya. Kami mendirikan sebuah tenda dan berencana untuk bermain OUIJA malam itu. Seluruh rencana kami berjalan dengan sangat lancar sebelum El datang dan ingin bergabung. Aku hanya ingin Adam. Jadi aku mengusirnya dan melarangnya untuk mendekat. Tapi El adalah El. Ia adalah orang yang paling ku benci saat itu. Ia marah dan mengambil papan OUIJA kami. Menari-nari diatasnya lalu bernyanyi sebuah lagu yang belum pernah kudengar. Adam berusaha menyingkirkannya tetapi ia lebih kuat. Ia memukul kepala Adam dengan kaca pembesar untuk permainan OUIJA kami. Aku marah sekali. Meninjunya dengan sekuat tenaga pada apa saja yang bisa ku dapatkan. Entah itu tangan, dada, perut, apapun. Aku menangis sekeras mungkin, melampiaskan rasa marahku padanya. Aku masih ingat perkataanku saat itu.
"YOU ARE THE MOST ANNOYING PERSON WHO EVER LIVE IN THIS FUCKING WORLD. AKU BENCI SAMA KAMU. KAMU BUKAN ABANG AKU! I DONT EVER WANNA HAVE A BROTHER LIKE YOU. KAMU ORANG YANG PALING AKU BENCI DI DUNIA! AKU BENCI JADI ADEK KAMU!"
Aku juga ingat reaksi El saat aku mengatakan semua itu. Tariannya berhenti. Ia memandangku lama dengan tatapan kosong sebelum turun dari papan yang kini sudah retak di salah satu sisinya.
"Biasa aja dong. Kan cuma bercanda, maaf deh" tapi aku sudah sangat kesal. Aku meninggalkannya tanpa menoleh lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Bowl of Cherries 《Cerita Hujan Tentang Kita》
Teen Fiction"I hard to love. But when I say I love it, I mean it. Like the rain. Aku tidak pernah berbohong bahwa aku mencintai rahmat Tuhan yang satu itu. Pembelaanku adalah : Aku tidak pernah bertaduh setiap hujan turun, juga tak pernah lupa menghadapkan waja...