prolog

0 0 0
                                    

Puluhan ribu tahun yang lalu, sebuah bencana besar melanda dunia. Bumi terbelah, langit perlahan mendekat menyentuh bumi. Gunung-gunung memuntahkan isi perutnya, langit pun berubah menjadi merah.

Itu bukanlah imajinasi seseorang. Melainkan kenyataan yang harus dihadapi umat manusia pada waktu itu. Setiap orang berlari tidak karuan dengan tujuan yang sama, berharap menemukan tempat untuk berlindung dari bencana itu. Ada juga sebagian orang yang terduduk dengan lututnya, berdoa.

Tapi pada siapa dia berdoa?

Bukankah [dia] yang membuat hal ini terjadi. Apa kita harus berdoa padanya?

Aku juga tidak mengerti itu.

Aku hanya terdiam menyaksikan para manusia ini berlari tak karuan menyelamatkan diri. Aku bahkan mencubit pipi bagian kiriku berharap semua yang terjadi di depan mataku itu adalah mimpi. Namun, sakit masih kurasakan pada bagian wajah tempat cubitanku itu, membuatku sadar bahwa semua yang terjadi bukanlah mimpi.

Gedung-gedung menjulang kelangit yang memerlukan beberapa bulan untuk membangunnya ditiup jatuh tanpa pandang bulu. Kendaraan yang biasanya digunakan untuk melakukan aktifitas sehari-hari pun diterbangkan tanpa bekas. Kota ini memang dekat dengan pegunungan yang membuat pemandangan indah perkotaan bersatu dengan indahnya pemandangan pegunungan dapat menghiasi pandanganmu kemanapun kau melihatnya. Tapi itu dulu, sebelum bencana itu terjadi.

Darah mengalir dari celah-celah reruntuhan bangunan itu— mungkin bagunan tinggi itu jatuh menimpa seseorang di bawahnya dan menjadikannya daging giling karena beban berat yang di timpahkan padanya.

Memikirkan saat-saat terakhir orang yang menjadi korban dalam peristiwa itu membuat isi perutku di paksa naik melalui tenggorokanku dan tertahan di mulutku. Tapi itu tidak berlangsung lama sampai aku mengeluarkannya— sesuatu yang seharusnya menjadi makan siangku itu melalui mulutku.

"Oouuggheeek!...."

Kumuntahkan semuanya seolah itulah seharusnya terjadi. Makanan yang harusnya dicerna itu mengotori tanah di depan mataku.

Dan saat aku melihat sesuatu—— itu adalah bagian tubuh seseorang. Matanya melotot seolah mengutuk [dia] yang berada di langit. Itu adalah potongan kepala seseorang. Melihat itu, membuatku sisa-sisa makanan dalam perutku semakin terdorong keluar.

"Oouuuggheeeekk!...."

Sekali lagi mengotori jalanan di depan mataku.

Aku pun bergegas melangkahkan kakiku dari tempat itu. Yang ada di pikiranku saat itu adalah menemukan keberadaan kedua orang tuaku.

Kupercepat gerakan kaki kecilku. Namun itu juga tidak berlangsung lama. Tenaga seorang anak berumur 12 tahun tidak sebanyak itu untuk berlari dengan kekuatan penuh meskipun dalam waktu kurang dari sepuluh menit.

Kecepatan Langkah kakiku perlahan mulai menurun dan terengah-engah. Tempat yang kutuju itu masih terlalu jauh, namun tubuhku menolak untuk bergerak lebih jauh dan akhirnya terjatuh karena kelelahan.

Wajahku menempel pada jalanan tempatku berlari saat aku terjatuh. Suara orang terjatuh juga tercipta saat itu, bersama dengan rasa sakit dibagian tubuhku saat menghantam tanah.

"Haahh......haahh....haaaahhh....."

Nafasku semakin memburu detak jantungku pun semakin cepat. Tapi tubuhku menolak untuk bangkit. Saat perlahan kurasakan tangan dan kakiku mulai menghilang dari pandanganku, begitu juga semua hal di sekitarnya mulai lenyap dari penglihatanku. Aku akhirnya tidak sadarkan diri.

………
……..
…….
……
…..
….

..
.

Yang kulihat pertama kali saat mataku terbuka adalah kegelapan. Kegelapan yang sangat pekat, yang membuatku mulai berpikir bahwa mataku sudah buta. Tapi itu tidak berlangsung lama, sebuah cahaya datang menusuk mataku dengan kecepatan yang tidak bisa diikuti oleh mata.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 03, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Chapter ZeroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang