Atma prasangsa

239 3 1
                                    

"Yang aku ingat, pukul 23.11 tadi aku mematikan handphone ku lalu berusaha untuk tidur. Tapi dimana aku sekarang?, aku tidak ingat sempat terbangun apa lagi berjalan keluar kamar. Lagi pula ini tempat apa?, ah, mungkin aku sedang bermimpi" ku cubit punggung tangan kanan ku, "aduh!, hei ini sakit, ini sedang tidak bermimpi!" Wajahku mulai pucat, badanku mulai melemas.

Aku sedang berada di suatu tempat yang tidak asing, mataku mejelajahi sekeliling dan aku tersadar. Aku berada di tempat pembakaran mayat yang orang Bali menyebutnya "Setra". Setra yang cukup luas menurutku. Kurang lebih 100 meter dari tempatku berdiri ada banyak kerumunan menggunakan  pakaian putih, kamben putih dengan selendang berwarna kuning. Kembali aku bertanya pada diriku "kenapa mereka berpakaian putih?, yang aku tahu jika sedang mengantarkan jenazah ke setra, orang-orang yang mengantarkan paling tidak menggunakan pakaian serba hitam atau pakaian dengan warna gelap, ah sudahlah" pikirku. Lega rasanya melihat ada banyak orang saat diri ini sedang ketakutan. Kulangkahkan kakiku beranjak dari tempatku berdiri mendekati seorang ibu yang menggunakan pakaian putih kuning tersebut, "bu?, permisi, bu?, siapa ya yang meninggal? Tanyaku, namun ibu tersebut tidak bergeming, ku tanya beberapa orang lainnya dan hasilnya sama, mereka tak bergeming seolah tidak melihatku, tubuhku mulai bergetar, keringat dinginku kembali bercucuran. Ku dekatkan diri ku pada tempat pembakaran mayat, dan betapa terkejutnya aku, air mataku menetes, itu aku, yang akan di bakar tersebut adalah jasadku. Tubuhku sudah kaku membiru pucat di tempat pembakaran mayat dengan banten yang sudah terjejer rapi d atas dada ku. Aku berlari menjauhi tubuhku, aku tak ingin melihatnya, aku takut, sangat takut. Pantas saja mereka tidak merespon saat aku ajak biacara. Aku sudah meninggal! Aku bukan manusia lagi! Aku hanya roh! Dan sepertinya aku gentayangan!. Aku menangis sejadi-jadinya, kucari keluargaku namun tidak aku temukan. Tiba-tiba api besar berkobar. Jasadku di kremasi, tubuhku habis di lahap sang api. Aku benar-benar sudah meninggal, dan bodohnya aku baru sadar detik ini.

Masih dalam posisi yang sama, aku masih terdiam sambil pikiranku melayang jauh, aku bingung harus berbuat apa, harus pergi kemana, dan bertanya kepada siapa. Namun tiba-tiba, seperti tersedot , aku berpindah tempat. Takutku semakin menjadi, aku berada di tempat yang lebih menyeramkan dari sebelumnya. Kali ini aku berdiri di tengah jalan kecil yang di kanan-kirinya terdapat pohon-pohon besar, langitnya-pun sangat kelabu, ungu gelap, tidak indah seperti lembayung senja yang biasa aku lihat semasa hidupku, dan sejauh mata memandang yang aku lihat hanya jalan lurus, mencekam, sunyi, dan sendirian. Aku benar-benar takut, ntah masih dapat dikatakan berdetak atau tidak, namun jantung ini berdegup sangat kencang. Kulangkahkan kaki dengan lesu menapaki jalan lurus ini. Cukup jauh aku berjalan, sedikitpun tidak ada suara hewan maupun pohon yang bergesekan karena angin. Yang ada hanya kesunyian saja. Akhirnya aku berhenti untuk beristirahat sejenak, saat aku akn mengucapkan doaku, kembali seperti tersedot, aku berpindah tempat lagi.

Kali ini aku berada di sebuah rumah berbentuk puri. takut yang kuhadapi sekarang tidak sebanding dengan sedih dan kecewa yang aku rasakan.  Mataku menatap ke tiap penjuru bangunan ini. Tidak ada kabel membentang disini, tidak ada listrik. Tidak ada cahaya lampu, hanya ada obor sebagai penerangnya. Ku jelajahi tempat tersebut dengan harapan bertemu tuan rumahnya. Usaha kecilku berbuah manis, aku bertemu seorang pria kurus membawa pedang seperti samurai, dgn tidak sabar aku bertanya, "maaf bapak, bapak siapa ya?, ini dimana?", beliau menjawab "ini tempat yg jauh, tempat yg tidak semua orang bisa tapaki, kalau km bertanya siapa saya, yg bisa saya jawab hanyalah saya sudah lama tinggal disini, terlalu lama, sampai saya lupa siapa saya ketika hidup dahulu".

Aku terpaku, sekelilingku tiba-tiba gelap , saat ku buka mata, aku berada di kamarku, air mataku menetes, rasanya kacau, jantungku berdegup kencang, badanku basah karena peluh, saat kulihat jam ternyata masih pukul 2 dini hari. Aku bertanya dalam hati "Tuhan, apa ini? "

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 24, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Atma PrasangsaWhere stories live. Discover now