Makanan mungkin adalah yang utama bagiku di dunia. Tanpa makanan mungkin aku takkan hidup. Ya, aku adalah seorang Gourmet. Orang yang aneh, yang punya obsesi lebih pada makanan. Rela membayar mahal untuk sebuah makanan.
Aku, Gabriela Lilian. 19 tahun seorang mahasiswi, Perempuan, singel dan seorang "Gourmet". Mungkin tidak banyak orang tau atau bahkan tidak pernah mendengar tentang "Gourmet".
Aku hanya bisa makan makanan tertentu. Tidak seperti anak lainnya, aku dikucilkan karena mereka menganggap aku aneh. Dan bahkan aku pernah disangka vampir karena tidak pernah ke kantin dan hanya minum susu kotak.
Dan saat aku masuk SMA, aku bertemu Jena, yang sekarang menjadi satu-satunya temanku. Dia orang yang sangat pengertian dan selalu berada disisiku. Takkan pernah aku lupakan saat pertama bertemu dengannya.
Saat itu aku sedang dibully oleh kakak kelas. Mereka menyumpal mulutku dengan roti yang mereka beli di kantin. Karena aku tak bisa makan itu, kemudian aku muntah-muntah sampai dehidrasi.
"Hey aneh, kau baik-baik saja.?" Itu kata pertama yang terucap dari mulut Jena, dan setelah itu kami berteman. Walaupun awalnya Jena sedikit takut denganku tapi akhirnya ia mengerti kondisi ku.
Sekarang aku sudah kuliah dan Jena juga satu universitas denganku. Sayangnya kami beda jurusan. Beruntung sekali aku bisa satu universitas dengannya.
Hari ini aku ada janji dengan chef yang biasa memasak di restoran langgananku. Rencananya dia akan menjadikanku tester dari masakannya.
Pukul 3 sore akhirnya kelas selesai. Aku dan Jena bergegas pergi ke restoran langgananku. Jaraknya cukup dekat dengan kampus jadi hanya perlu berjalan kaki 15 menit.
"Ada apa bi? Tumben chef Ervan memintamu datang?." Tanya Jena.
"Dia memintaku menjadi tester masakannya." Jawabku dengan nada bersemangat.
"Um, apa kau tak apa bi?." Tanyanya lagi.
"Tenang aku sudah menyiapkan diriku untuk ini." Jawabku seraya memegang kedua bahu Jena.
Setelah itu Jena tersenyum dan kami melanjutkan perjalanan. Restoran terlihat di ujung jalan. Lumayan ramai, kami berdua pun memutuskan menunggu chef Ervan keluar dan menjemput kami.
Aku mengirim pesan ke chef Ervan. Ia bilang untuk menunggu 10 menit. Kami duduk dan memesan minuman. Minuman yang biasa ku minum adalah Hot Cappucino, Jena memesan Hot Chocolate.
Setelah minuman datang, tak lama kemudian chef Ervan keluar. Dia berjalan sambil melepas apron yang melilit di pinggangnya.
"Hay, kalian sudah lama?" Tanyanya.
"Tidak kok chef, minuman saja baru datang" Jawab Jena.
"Gaby jangan bilang Hot Cappucino lagi?" Ucap chef Ervan.
"Hehe, iya chef." Jawabku sambil tertawa.
Setelah itu ia mengajak kami ke ruang sebelah dapur. Kami keluar kemudian masuk lewat pintu belakang. Terlihat ada kompor dan bahan-bahan masakan. Ternyata dia akan menunjukan "Live Show" bagaimana ia akan memasak masakannya.
"Nama masakannya apa chef?" Tanya Jena.
"Tagliatelle aglio olio" Jawabnya.
"Um, bukannya Tagliatelle itu sudah biasa ya chef?." Lanjut Jena.
"Ah, tunggu saja. Ini akan jadi Tagliatelle yang beda." Ucap chef Ervan, kemudian ia mulai memasak.
Beliau terlihat serius dan kami memperhatikannya dengan tenang. Tangan beliau seperti menari saat memegang pisau.
Beberapa saat mulai tercium harumnya tumisan bawah putih. Kami duduk sambil memejamkan mata. Membayangkan rasa masakan itu nanti. Rasanya air liurku hampir menetes saat membayangkan rasa bawang putih dengan sedikit pedas dan asin.
Lebih dari 10 menit chef Ervan memasak kemudian terdengar bunyi bel yang menandakan ia sudah selesai memasak.
Masakannya terlihat sangat enak. Jena mendapat giliran pertama. Ia ambil garpu, kemudian ia gulung tagliatelle di piring. Saat garpu masuk kemulutnya, terlihat mukanya mengatakan itu sangat enak.
"Sangat lezat chef. Oh my god, rasanya aku ingin habiskan satu piring ini." Ucap Jena.
"Terima kasih Jena.Gaby, sekarang giliran kamu." Ucap chef Ervan.
Aku mengambil garpu diatas meja kemudian mulai melilitkan tagliatelle yang ada dipiring. Aku mengambil nafas panjang kemudian garpu masuk ke mulutku. Beberapa detik rasanya biasa saja. Kemudian rasa tagliatelle yang ku kunyah berubah menjadi hambar dan bahkan terasa aneh.
Tanganku mulai mencari air putih dan mataku mulai mengeluarkan air. Saat air putih kudapat, aku bergegas ke westafel dan mengeluarkan tagliatelle yang ku kunyah. Aku tak berhenti muntah. Jena dan chef Ervan terlihat panik. Jena memegangi rambutku dan chef Ervan pergi mengambilkanku minum.
"Bi, kamu engga apa-apa kan?" Tanya Jena.
"Yeah, i am okay." Jawabku.
Tak lama Chef Ervan datang membawa Hot Cappucino. Aku dipapah menuju kursi. Wajahku pucat dan mataku merah. Kemudian Jena menguncir rambutku dan mengipasi ku.
"Minum ini bi, siapa tahu kau jadi baikan." Ucap Chef Ervan.
Kemudian Chef Ervan membantuku minum dengan memegang tanganku. Satu teguk terasa tenggorokanku membaik. Aku lanjut minum sampai tidak tersisa sedikitpun di mug.
5 menit aku coba menenangkan diri. Rasanya kepalaku masih sedikit pusing.
"Kalian aku antar pulang ya?." Tanya Chef Ervan.
"Ah tidak usah chef." Jawab Jena.
"Tidak apa, aku merasa bersalah karena aku, Gaby jadi muntah-muntah." Ucap Chef Ervan.
"Aku minta maaf ya Gaby. Kamu masih mual?" Lanjutnya.
"Aku sudah tak apa, chef." Jawabku.
"Aku antar kalian pulang oke. Anggap sebagai permintaan maafku." Ucap Chef Ervan kemudian ia pergi menyiapkan mobil.
Aku membereskan barang-barangku dan kemudian dipapah saat jalan menuju mobil. Saat sudah dimobil kami semua diam sampai Jena turun.
"Kamu masih pusing bi?." Chef Ervan membuka pembicaraan.
"Sudah tidak chef." Jawabku.
"Kalau diluar jangan panggil aku chef. Cukup Ervan saja." Ucapnya.
"Tapi aku merasa tidak enak." Ucapku karena Chef Ervan lebih tua 3 tahun dariku.
"Tak apa, cukup Ervan saja oke?." Lanjutnya.
"Oke Ervan." Ucapku.
10 menit setelah Jena turun aku pun sampai dirumah. Ervan mengantarku sampai depan pintu. Saat ibuku keluar dia kaget melihat wajahku yang pucat. Kemudian Ervan menjelaskan pada ibuku kemudian meminta maaf.
Setelah Ervan pergi, aku masih memikirkan kejadian tadi. Apakah aku seaneh itu? Apa aku bisa normal seperti yang lain? Apa aku bisa makan apa saja yang selama ini tak bisa ku makan? Aku ingin sembuh.
Ibu kemudian masuk ke kamarku dan bertanya kejadian detailnnya padaku. Setelah mendengar itu wajah ibu terlihat sangat sedih, akupun menangis saat ibu memelukku.
.
.
.
.
.To be continue...
KAMU SEDANG MEMBACA
Gourmet
RomanceBercerita tentang seorang mahasiswi bernama Gabriela Lilian yang merupakan seorang gourmet. Ia mempunyai teman satu-satunya yang bernama Jena Larassati Argania. Ia tidak bisa makan sembarangan dan hanya bisa makan makanan tertentu. Ia tidak tahu...