Malam telah sempurna menelan sisa-sisa merah keemasan cahaya senja. Gelap pun genap membungkus sebuah belantara luas yang terletak tak jauh dari pedalaman Dusun Rejosari. Hanya temaram kerlip bintang dan cahaya bening bulan sabit tua yang didaulat alam menjadi pelita. Di sebuah titik di antara rimbunnya belantara, berdiri sebuah gubuk. Sinar redup lampu minyak dari dalam gubuk itu terlihat menembus keluar melalui lubang-lubang di dindingnya.
Tiba-tiba sesosok bayangan manusia menyembul muncul dari balik kegelapan rimbunan pepohonan. Bergegas-gegas ia menuju gubuk. Sebuah suluh berukuran pendek berapi kecil tergenggam di tangan kanan menjadi penerang jalannya. Langkah-langkahnya yang ringan nyaris tak menimbulkan suara, walau alas kakinya menginjak-injak patahan ranting-ranting pohon yang jatuh, semak belukar serta guguran daun-daun kering.
Tiba di depan gubuk, bayangan itu berhenti. Ia merapatkan tubuhnya dengan pintu gubuk, lalu mulai mengetuk-ngetukkan jemarinya di atas pintu. Ketukan-ketukannya tak lazim terdengar seperti ketukan biasa bila seorang bertamu. Sangat pelan tapi memiliki irama tersendiri.
“Cahaya mana yang terbit di taman bulan?!” tiba-tiba sebuah bisikan berseru samar dari dalam gubuk.
“Sekar Kluwung suluh penerang,” sang tamu yang baru datang menyahutinya juga dengan berbisik seraya menempelkan bibirnya ke dinding pintu.
Pintu pun berderit terbuka, seorang lelaki muncul. Ia menatap paras tamunya untuk meyakinkan diri bahwa tamu yang datang adalah orang yang sedang ditunggu-tunggu. Kepalanya keluar sebentar dari muka pintu lalu matanya menyapu keadaan di luar gubuk dari kiri hingga ke kanan berulang-ulang. Setelah memastikan keadaan aman, lelaki itu pun menyuruh tamunya masuk dengan isyarat kepala. Sang tamu masuk, lelaki penyambutnya mengikuti dari belakang.
Pantulan cahaya lampu minyak di dalam gubuk akhirnya memperjelas garis-garis wajah dan tubuh sang tamu. Walaupun memakai pakaian dan celana ringkas berwarna hitam mirip laki-laki, tetapi bentuk tubuh dan wajahnya tak dapat menipu mata bahwa dia adalah seorang perempuan. Seorang gadis muda berkulit coklat bermata bulat. Rambut hitam yang disanggul rapi tampak serasi dengan wajah manisnya yang menebar senyuman setipis awan siang.
Dengan air muka yang tenang, ia melangkah ringan mendekati dua orang lelaki lain yang sedang duduk di lantai gubuk. Setelah memberi salam ia duduk bergabung di lantai bersamaan dengan lelaki yang menjemputnya di pintu masuk.
“Kau terlambat, Sekar Kluwung,” tegur seorang lelaki berkumis tipis, memakai destar dan beskap warna hitam serta kain wiron yang lebar.
“Maafkan aku, Kang Mas Aryo Bumi. Pasukan Belanda melakukan penjagaan ketat di mana-mana. Nyaris seluruh pelosok daerah sudah dikepung. Kalau saja aku tak mempersiapkan beberapa pilihan jalan pintas sebelumnya, rasanya mungkin aku sudah tertangkap,” jawab Sekar Kluwung.
Lelaki yang dipanggil Aryo Bumi mendenguskan nafasnya kuat lalu menatap tajam pada Sekar Kluwung. Sekar Kluwung balas menatap Aryo Bumi dengan pandangan lurus dan datar. Ada energi tersendiri yang berpendaran di dalam dada sepasang manusia tersebut saat mata mereka beradu tatap dan hanya mereka berdua yang tahu hal itu.
“Silahkan memulai, Ki Wengi,” suara Segoro Bayu – sang penjemput tamu – terdengar memecah keheningan yang tercipta sejenak.
“Seperti biasanya, pertemuan kita ini bertujuan membahas temuan-temuan keterangan yang kita semua dapatkan dari lapangan. Silahkan siapa yang hendak memaparkan temuannya terlebih dahulu.” Seorang lelaki lain memakai gamis putih berjanggut panjang penuh uban bersuara dengan nada yang berat.
“Tidak ada temuan berarti yang aku dapatkan. Tugas ini sudah semakin sulit dilakukan,” kata Aryo Bumi.
“Ya, tugas kita sebagai telik sandi memang semakin berat. Kita sudah sulit bergerak seiring posisi kekuatan pasukan Gusti Pangeran yang kian terjepit. Di berbagai titik, kekuatan pasukan Gusti Pangeran sudah dilemahkan dan ditumpas Belanda. Bahkan aku mendengar kabar tersiar bahwa kedudukan pasukan Kakang Mojo pun sudah terdesak ... ”
“Kyai Mojo, sudah tertangkap, Ki Wengi. Perlawanan pasukannya sudah ditekuk. Demikian juga dengan pasukan Gusti Mangkubumi,” Sekar Kluwung memotong perkataan lelaki itu.
Tiga pasang mata lelaki kontan melotot kaget demi mendengar berita yang dibawa oleh Sekar Kluwung.
“Apa kalian tidak mendengar beritanya?” heran Sekar Kluwung
Tiga kepala lelaki menggeleng pelan hampir bersamaan.
“Saya mendengar tentang terdesaknya pasukanya Kyai Mojo dan Gusti Mangkubumi. Tetapi aku tak mendapat kabar kalau beliau berdua telah ditekuk Belanda,” jelas Segoro Bayu
“Belanda benar-benar telah memutus jalur-jalur kerja para telik sandi, sekarang setiap berita menjadi sangat sulit untuk di dapat,” kata Aryo Bumi.
“Bagaimana dengan Gusti Sentot?” Tanya Ki Wengi.
“Entahlah, aku tak mendengar kabar tentang Gusti Sentot. Kabar tersebar bahwa beliau dan pasukannya juga telah menyerah. Tapi aku tak dapat memastikan kebenaran kabar itu.”
“Dengan tertangkapnya Kyai Mojo dan Gusti Mangkubumi, kekuatan kita kini benar-benar berkurang. Terkait hal itu, aku membawa titah langsung dari Gusti Pangeran,” lanjut Sekar Kluwung.
“Katakanlah, Sekar Kluwung.”
“Kekuatan telik sandi lapis ketiga kita perlahan tapi pasti juga sudah hancur. Banyak telik sandi yang tertangkap atau terbunuh, bahkan lebih banyak lagi yang tiba-tiba saja. menghilang.” Sekar Kluwung berhenti sejenak, matanya menyapu seluruh wajah lelaki di hadapannya.
“Kekuatan telik sandi lapis kedua pun setali tiga uang. Sebagian besar menghilang, bahkan beberapa di antaranya telah berdiri membela pasukan Belanda. Belum lagi strategi pembangunan benteng-benteng oleh Belanda yang disertai penjagaan ketat disekitarnya telah memutus jalur kerjasama antar telik sandi,” Sekar Kluwung berhenti lagi, sinar matanya bagai menembus masuk ke dalam tiga pasang mata lelaki di hadapannya lalu membongkar keluar apa saja yang sedang bergolak di dalam benak masing-masing lelaki tersebut.
“Jelas sekali kekuatan kita untuk memata-matai dan mengumpulkan kabar tentang kekuatan musuh telah menjadi sangat lemah. Kini, Gusti Pangeran sangat mengandalkan kelompok telik sandi lapis satu dalam perang ini. Mengandalkan kita dan kelompok telik sandi pimpinan Kang Mas Suryo Abang,” lanjut Sekar Kluwung.
“Lalu, apa titah Gusti Pangeran yang kau bawa untuk kita?” tanya Segoro Bayu.
“Kita diperintah untuk melakukan kontak secepatnya dengan kelompok Kang Mas Suryo Abang, lalu menemui Gusti Pangeran sesegera mungkin sebelum purnama muncul kembali di langit malam.”
“Apakah ada sesuatu yang amat penting hendak disampaikan Gusti Pangeran kepada kita sehingga seluruh telik sandi lapis satu miliknya dipanggil menghadap?” tanya Ki Wengi.
“Entahlah, yang jelas kudengar kabar bahwa Gusti Pangeran mencium sebuah rencana besar yang sedang disusun Belanda untuk menangkapnya. Tapi Gusti Pangeran belum mengetahui rencana apa itu.”
“Lalu bagaimana dengan Tirto Geni? Sudah dua bulan dia menghilang tak ada kabar,” tanya Aryo Bumi.
“Untuk sementara kita lupakan Kakang Tirto Geni. Kita tidak tahu apa yang telah menimpanya. Mungkin ia telah tertangkap, terbunuh, atau ...”
“Atau sudah jadi pengkhianat seperti yang lainnya!” Kumis Aryo Bumi terangkat sinis, bola matanya kembali lekat menatap mata bundar Sekar Kluwung.
Tatapan Aryo Bumi membawa Sekar Kluwung kembali kepada masa-masa sebelum perang berkobar. Masa di mana segitiga cinta antara dia, Tirto Geni dan Aryo Bumi memanas yang kemudian berujung pada kekalahan Aryo Bumi atas Tirto Geni dalam hal memperebutkan cinta Sekar Kluwung. Tatapan dendam dan cemburu terlihat masih menyambar-nyambar bagai cahaya kilat dari dalam mata Aryo Bumi.
“Jangan berburuk sangka kepada Kakang Geni, Kang Mas Bumi!” ketus Sekar Kluwung.
“Ya, ya, tentu saja Kau membelanya.”
“Kalau begitu, apakah kami juga masih bisa percaya dengan dirimu, Mas? Kau juga menghilang selama lebih dari satu pekan kemarin!”
“Penyamaranku terbongkar di Magelang, Sekar! Aku harus lari menghilang terlebih dahulu sebelum kembali ke sini! Aku tidak mungkin mengkhianati Gusti Pangeran!” sambar Aryo Bumi berapi-api.
“Bumi, Sekar, cukup!” Ki Wengi membentak dengan suara beratnya.
Sepasang telik sandi yang sedang bersitegang segera terdiam. Sekar Kluwung lurus menatap lantai, Aryo Bumi mendengus keras dan menggelembungkan otot rahangnya.
“Sudah berapa lama kalian jadi telik sandi, hah?! Apa kalian tidak sadar bahwa hutan ini pun punya telinga yang mampu mendengar suara kalian bertengkar?” geram Ki Wengi.
“Sudah... Sudah... Silahkan lanjutkan lagi Sekar. Apa lagi yang harus kita lakukan dan kapan titah Gusti Pangeran tersebut harus kita laksanakan?” Segoro Bayu menengahi.
“Hanya itu perintah Gusti Pangeran. Kita harus melaksanakan perintah itu secepatnya,” jawab Sekar Kluwung.
“Bagaimana, Ki Wengi?” Segoro Bayu meminta pendapat pimpinannya.
“Baiklah kalau begitu. Aku rasa tak ada lagi yang akan kita bicarakan. Malam ini kita kembali kepada tugas masing-masing yang belum terselesaikan. Esok hari, lewat waktu Dhuha sebelum sebelum waktu Dzuhur datang, usahakan secepatnya kita kembali kesini. Pastikan kalian datang kembali di sini dengan selamat dan tanpa ada seekor makhluk pun yang menguntit langkah kalian dari belakang,” perintah Ki Wengi menutup pertemuan mereka malam itu.
Tak lama kemudian lampu minyak dipadamkan. Segera saja gubuk tempat pertemuan malam itu tenggelam dalam kegelapan. Empat orang telik sandi pun segera menghilang.
***
Waktu Dhuha merayap kian tinggi. Tubuh Aryo Bumi terdiam di tempatnya berdiri. Ia seperti merasa tak punya kekuatan untuk bergerak. Kejutan di depan hidungnya bagai memaku telapak kaki ke bumi. Matanya terbeliak besar menatap dua sosok jasad kaku yang tertelungkup tepat di depan ujung sandalnya. Dua bilah keris kecil terlihat tertancap di leher kedua jasad tersebut. Kulit di sekitar leher mereka tampak membiru.
“Siapa yang melakukan ini kepada kalian, Kakang Segoro Bayu, Ki Wengi!” suaranya bergetar menahan amarah dan kesedihan.
Aryo Bumi kemudian memeriksa mayat Segoro Bayu dan Ki Wengi. Darah masih menetes dari luka di leher mereka. Luka yang menyebabkan kematian dua sahabatnya itu jelas bukan berasal dari senjata Belanda.
Aryo Bumi kemudian mencabut dua bilah keris kecil tersebut. Diperhatikannya senjata mini itu dengan seksama. Jelas kedua keris itu adalah senjata rahasia. Melihat warna kulit leher kedua mayat yang membiru, Aryo Bumi langsung bisa menebak bahwa senjata itu beracun. Aryo Bumi akhirnya mengingat sesuatu tentang keris-keris kecil beracun tersebut.
Aryo Bumi segera berdiri sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling hutan. Liang telinganya dibuka lebar-lebar. Ia sadar rencana pertemuan telik sandi pimpinan Ki Wengi telah bocor ke telinga musuh. Dan ia sudah bisa menduga siapa orang yang telah mengacaukan semuanya. Aryo Bumi siaga, ia tak ingin bernasib sama dengan dua mayat yang ada di hadapannya.
Tiba-tiba sebuah langkah kaki terdengar mendatangi Aryo Bumi dari belakang. Aryo Bumi kontan membalikkan badan. Ketika melihat seorang lelaki melangkah mendekati, Aryo Bumi langsung mencabut keris di pinggangnya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Telik Sandi Sang Pangeran
Historical FictionProlog: Tahun 1825 - 1830 berkobar perang di Jawa Tengah. Sebuah pertempuran besar yang dikenal sejarah dengan sebutan 'Perang Jawa'. Perang ini adalah sebuah perlawanan seorang bangsawan pribumi Keraton Ngayogyakarta bergelar Pangeran Diponegoro te...