Prologue

12 4 0
                                    

Aku mengangkat wajah untuk memandangi seorang lelaki sebayaku. Ia duduk jauh di ujung kantin, namun aku masih dapat melihatnya dengan jelas. Ia sedang tertawa bersama gengnya. Aku bahkan tidak tahu apa yang sedang ia bicarakan, tapi tanpa kusadari, aku tersenyum lebar. Kalau kalian tahu, bilang padaku, bagaimana bisa ada lelaki yang sebegitu menawan.

Namanya Rheyhan Devendra. Dia itu penghuni kelas XI MIPA 8, yang letaknya persis di sebelah kelasku, XI MIPA 9. Rheyhan tidak ganteng, tidak lucu, tidak begitu pintar. Ia cukup tinggi dan bisa bermain gitar. Jika dia dapat dideskripsikan seperti makanan, komposisinya pas. Tidak ada yang berlebih. 

Hanya satu masalah yang ia miliki. Ia terlalu menawan di mataku.

"Heh." Seseorang menepuk bahuku. Aku menoleh dan disapa oleh seringaian Nafisah, yang akrab dipanggil Nana, teman baikku. "Pasti ngeliatin cowok itu lagi ya." Nana menggelengkan kepalanya sambil duduk di sampingku. "Apa sih yang kamu liat dari cowok itu?" tanya Nana, sambil mengikuti arah mataku yang sedari tadi sedang melirik ke arah Rheyhan. "Maksud aku, serius deh. Emang kamu bisa liat dia dari sini? Dia ada di ujung sana, Sha." ujar Nana sambil menunjuk ke arah meja Rheyhan nun jauh di sana.

Aku buru-buru menurunkan tangan Nana yang sedang menunjuk ke arah Rheyhan. "Jangan ditunjuk gitu dong. Nanti pada tau." aku menggerutu.

Nana menghela napas, memandangku dengan tatapan tak percaya. "Kalo gitu kasih tau aku deh, Sha, alasan kamu suka sama dia tuh apa?" Nana menyilangkan lengannya di dada.

Aku menyeringai, sambil memandang ke arah Rheyhan yang bahkan mungkin tidak sadar bahwa aku sedang mengaguminya dari jauh. "Suka sama orang itu gak perlu pake alasan." jawabku. Kutopangkan daguku tanpa melepas pandanganku dari Rheyhan.

Nana pura-pura berlagak layaknya ia ingin muntah. "Keseringan baca novel ya?" ujarnya sambil memutar bola matanya. "Terusin deh tuh, perhatiin sampe mata lu copot." sindir Nana.

Aku hanya mendengus, tak memedulikan sindiran Nana. Serius deh, kalian harus tahu, betapa menawan seorang Rheyhan Devendra. Bahkan ketika ia hanya berdiri tanpa melakukan apapun, aku rasanya ingin menghampirinya dan bilang padanya betapa ia begitu menawan.

Nana selalu mengolok Rheyhan di hadapanku, selalu tidak mengerti kenapa aku menyukainya. "Dia tuh gendut, lemah, gak proporsional, tau gak?" Nana selalu berkomentar. Tapi Rheyhan tetap saja sempurna di mataku. Kalau di mata orang lain dia gendut, maka aku malah ingin mencubit pipinya yang tembem itu saking imutnya dia. Kalau orang bilang dia lemah, biarkan saja. Toh aku cewek strong, biar aku yang melengkapinya. Kalau orang pikir dia tidak proporsional, aku juga tidak. Jadi aku dan dia punya sesuatu yang sama.

Aku merobek secarik kertas kecil dari buku. Kukeluarkan pulpen yang selalu ada di sakuku.

Aku selalu mencoba untuk menulis di waktu senggangku. Setidaknya, menulis lebih produktif ketimbang harus mengumbar rahasiamu ke orang-orang di sekitarmu. Lagipula, menulis itu bisa dibilang menjadi pelampiasanku. Jika orang-orang melampiaskan perasaan mereka dengan menangis, tertawa, atau marah, maka aku menuangkan segala perasaan itu lewat coretan-coretan kecil. Aku bisa melakukannya dengan media apapun. Tisu, kertas, plastik, spidol, pensil, notes HP. Apapun itu, asal perasaanku tertuang dalam huruf-huruf, maka itu cukup bagiku.



25 Agustus 2015, 11.45 AM.

Percayalah, memandangmu dari jauh sudah cukup bagiku.

Karena kau tak akan tahu, betapa takutnya aku bahkan hanya untuk berdiri di dekatmu.

Kau tak akan tahu, betapa aku harus mengumpulkan keberanian hanya untuk memandangmu.



Nana melirik ke arah tulisanku di atas kertas dan tertawa. "Serius deh, Sha, samperin aja dia. Lagian dulu kamu kan sekelas sama dia. Masa iya dia gak kenal sama kamu." Nana menyarankan.

Iya. Rheyhan dulu juga teman sekelasku waktu aku kelas 10. Aku pernah berbicara dengannya untuk menanyakan pelajaran. Tapi tidak pernah lebih dari itu. Sudah nyaris setahun aku menaruh hati padanya, tapi untuk bicara dengannya saja aku takut.

 Aku menggelengkan kepala sebagai jawaban atas pertanyaan Nana. "Enggak ah. Aku takut." ujarku.

Kalian bisa saja bilang bahwa aku berlebihan. Tapi serius, kalian harus tahu bahwa di dunia ini ada banyak orang-orang semacamku. Kami yang selalu berdebar tak karuan setiap berada di dekat orang yang kami suka. Kami yang menganggap bahwa orang yang kami suka membenci kami meski 'dia' tidak memiliki alasan untuk membenci kami. Biar aku beri tahu kalian, mewakili kami yang sulit untuk menyatakan perasaan kami; bagi kami, melihatnya dari jauh itu sudah menjadi suatu hal yang dapat disyukuri.

Oh iya, perkenalkan, namaku Shahnaz Alvia. Umur 16 beranjak 17. Kita lewati saja basa-basinya dan langsung ke topik masalahnya. Aku cinta mati sama Rheyhan.


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 24, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

CoretanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang