Suara bising seperti sepatu laras mulai mendekat kearah kami. Seorang teman setengah berbisik di belakangku.
"Jangan bilang kau memikirkan hal yang sama denganku"
"Shhh! Kecilkan volume suaramu" kataku berbisik. "Wahai baginda kepala suku, apakah gerangan yang sedang mendekat ke arah kita?" Tanyaku menoleh.
"Entahlah. Semoga saja itu bukan rombongan kuda liar"
Aku menelan ludah begitu juga dengan si Jou yang sejak tadi wajahnya sudah terlihat pucat pasi.
Aku mengambil langkah ke depan berusaha mencari tau apa yang sedang mendekat ke arah kami di tengah remang-remang gelapnya malam dan padang rumput sebahu. Rumput-rumput liar ini membuat kami kesulitan mengambil jalan. Bukan cuma karena ukurannya yang hampir setinggi kami, tetapi juga lebatnya yang sangat mengganggu. Tanah kosong ini hanya ditumbuhi rerumputan yang sebagiannya berduri, jadi kami harus berhati-hati saat melewati padang rumput ini.
"Kau baik-baik saja di depan sana Buyung?" Tanya baginda kepala suku kepadaku. Ia mendekat.
"Jangan ke mari baginda. Aku baik-baik saja." Aku masih saja mengambil langkah dengan hati-hati. Membiarkan jou dan baginda tertinggal cukup jauh di belakang demi melindungi mereka.
Langkah baginda terhenti. Saat itu jugalah tiba-tiba gerombolan perampok bersenjata tumpul hendak menodong kami. Aku refleks memasang kuda-kuda yang telah diajarkan Guru Radala seminggu yang lalu sedangkan jou mematung di belakang sana. Gerombolan perampok itu kira-kira berjumlah 9 orang sedangkan kami hanya bertiga. Mereka jatuh bodoh di hadapan kami tepat saat aku memasang kuda-kuda. Tombak yang hendak menusuk dada kami juga terhenti. Melayang dengan sendirinya di udara tanpa ada perintah dari siapapun. Aku menoleh karena heran menyaksikan tombak-tombak itu. Aku baru tingkat ke dua dalam mematikan lawan. Membuat perampok-perampok itu jatuh pingsan memang ulahku tetapi membuat tombak-tombak itu melayang bukanlah aku. Setelah terhenti beberapa saat, tombak-tombak itu bergerak ke sana ke mari seperti seseorang sedang memainkannya tetapi tak ada siapa-siapa di sana.
"Banginda, apa kau baik-baik saja?" Tanyaku masih menebak-nebak mengapa tombak itu bergerak sendiri seperti ada yang mengendalikannya. Tanganku berjaga-jaga di belakang untuk memastikan tak ada serangan yang datang tiba-tiba.
"Baginda?" Teriakku mulai panik. Aku menoleh dan [boom]. Aku seperti dijatuhi boom. Baginda Lamba lah yang mengendalikan tombak-tombak itu. Jou di seberang sana sama terkejutnya denganku melihat baginda memainkan tombak-tombak itu di udara tanpa menyentuhnya.
Aku mendekat berusaha melihat lebih jelas. Bagaimana bisa tombak-tombak itu bergerak begitu saja? Apakah baginda menggunakan tali untuk memainkannya? Tetapi itu juga sama saja bohong jikalau tombaknya melayang-layang di udara.
[bruukk]...
Tombak-tombak itu jatuh bersamaan saat aku menyentuhnya."Baginda.." Ujar jou melemah. Ia jatuh pingsan menyaksikan keanehan yang baru saja baginda lakukan.
Aku sama terkejutnya dengan jou. Aku kini masih menatap baginda tak percaya.
"Bergegaslah! Sebelum perampok-perampok itu bangun dan menyerang kita untuk ke dua kalinya. Aku tak tau lagi harus memakai jurus apa saat mereka menyerang." Ujar baginda memecah keheningan di antara kami. Ia tertawa kecil "berhentilah memasang wajah bodoh itu buyung. Aku tak akan menjadi kepala suku jika menghentikan tombak saja aku tak mampu" ia lagi-lagi terkekeh sedangkan aku masih saja memasang wajah bodoh itu.
"Kau bisa menggendong temanmu?" Tanya baginda.
"Aa? Oh iya tentu baginda. Aku sudah terbiasa mengangkatnya. Ia memang selalu begitu saat terkejut." Aku menggaruk kepala yang tidak gatal menyaksikan jou tergeletak tak sadar di atas tanah yang dipenuhi rerumputan itu. "Astaga kau berat sekali."
CITEȘTI
Suku Sanakia
FantasyApa yang akan kau katakan kepada mereka yang serakah saat mereka sedang kalah? Jangan bersedihkah? Lapangkan dadamu? Bersabarlah?. Apakah semua itu? Dan coba beritahu aku apa yang mereka katakan padamu saat kau kalah.