Abad ke-21. Dimana teknologi berkembang begitu cepat semakin maju, apalagi di kota metropolitan seperti Jakarta ini. Hampir di setiap kalangan usia sudah mengenal yang namanya teknologi. Dari kalangan anak-anak, remaja, dewasa, hingga lanjut usia. Setiap orang dari belahan bumi mana pun dapat saling terhubung menjadi satu. Tak terkecuali aku dan dia.
Jarak Jakarta ke Bandung seakan tidak ada apa-apanya bagi kami. Hampir disetiap malam ku ditemani oleh sebuah pesan darinya. Seakan tawa dan suaranya hadir, sangat dekat. Detik ke detik, menit ke menit, tak terasa malamku habis terbawa kehangatan yang Ia tunjukkan walau hanya melalui pesan singkat yang ia kirimkan.
Selamat malam adalah dua kata terakhir yang selalu ia ucapkan di penghujung obrolan malam kami. Dan entah mengapa, kedua ujung bibirku selalu tertarik membentuk sudut ketika membaca dua kata itu.
Aku merebahkan tubuhku di atas kasur lalu tersenyum seraya menatap lurus ke langit-langit kamar. Percakapan tadi berhasil membuat malamku berwarna untuk kesekian kalinya. Candaannya terasa nyata dan selalu terngiang di benakku. Lelaki itu berhasil membuat setitik cahaya pada malam-malam gelapku.
Namanya Juna. Lelaki kehaliran Bandung 17 tahun silam. Lelaki yang ku temui lewat aplikasi perpesanan. Iya, kami memang belum pernah bertemu secara langsung. Jarak lah yang memisahkan kami. Namun berkat adanya teknologi, bukan tidak mungkin jika tiap malamnya kami berbicara dan bergurau bersama, bahkan bertatap muka. Dan setiap malam pasti ada saja hal manis yang Ia berikan padaku. Sikapnya sangat dewasa dan pengertian yang pasti membuat kaum hawa luluh padanya.
Tidak, aku tidak jatuh cinta padanya. Kalimat itu terlalu berat untuk perasaan ini. Aku ... mungkin jatuh hati? Ah, entahlah. Yang ku tahu dia berhasil menyihir jiwaku.
***
"LATHIFA ANDESTHARA!"
Teriakkan itu berhasil membuatku terbangun dari tidurku. Aku membuka mataku dan melihat ke sekelilingku lalu mengucek-ucek kedua mataku.
"Udah sampai ke mana mimpinya?" tanya ibu-ibu bertubuh tinggi besar yang melipatkan tangannya di dadanya dan membawa penggaris kayu panjang.
Aku menyengir kuda seraya menggaruk tengkuk kepalaku yang tidak gatal. "Ehh ada Bu Sandra hehehe, maaf ya, Bu."
"Cuci muka kamu sana!" ucap Bu Sandra, guru fisika ku yang dikenal sangat amat kejam terhadap anak yang tertidur di kelasnya.
Sebelum aku kena omel yang lebih parah lagi, aku mengangguk dan bergegas menjalankan perintahnya.
Entahlah, hari ini aku sangat mengantuk. Aku mengadahkan tanganku tepat di bawah keran, menunggu tanganku penuh dengan air, lalu membasahi wajahku dengan air tersebut.
Aku menatap bayanganku di depan cermin, melihat kantung mataku yang begitu besar dapat membuat orang-orang dengan mudah menebak bahwa aku sering tidur larut malam. Aku menghembuskan napas lalu merogoh kantong rokku dan mengambil telpon genggam disana.
"Fa, saya lagi di Jakarta, mau ketemu?"
Mataku membelalak melihat satu notifikasi pesan yang ku lihat pengirimnya adalah Junario Khatulistiwa. Tanpa sadar, aku tersenyum lebar.
Ibu jariku dengan lihai membalas pesan singkat darinya. "Mau!! Kamu di Jakarta sampai kapan?"
Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jika kami bertemu nanti. Canggung? Atau bahkan sangat akrab? Ah, aku jadi tidak sabar.
"Gak lama sih, cuma tiga hari. Hmm, besok yuk? Besok saya mau ke kota tua, kalau kamu mau, kita ketemuan di sana saja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Stay.
Short StoryJangan seperti ini, saya mohon. Saya tidak akan membenci kamu karena perbuatan kamu membohongi saya. Saya tidak akan membenci kamu karena kamu memilih perempuan itu. Tetap di sini, temani malam-malam saya. Jangan pergi.