Pukul 01:12 saya terbangun dan perut tiba-tiba berdendang; merasa lapar, padahal beberapa jam sebelumnya saya sudah ditraktir makan ayam lalapan oleh teman sekampus saya. Namanya lapar ya harus makan. Saya keluar rumah dan menuju ujung lorong, barangkali ada penjual makanan yang masih terbuka. Kalau ada yang terbuka ya alhamdulillah, saya suruh tutup soalnya sudah larut malam. Eh.... Hehehehe.
Berjalan sepanjang jalan namun tak ada lagi warung yang terbuka. Yang ada hanya warung toko dan itulah yang menjadi alternatif. Untuk menghemat saya membeli dua bungkus mie instan yang harganya seribuan dan sebutir telur serta dua bungkus kuaci juga segelas air gelas kemasan. Lumayan, jumlah keseluruhannya hanya empat ribu rupiah. Hemat dan mengeyangkan.
"Jalangkoteee ... bakwan udang. Jalangkote dan bakwan udaaaang."
Sebelum saya masuk kembali ke lorong menuju rumah terdengar dari kejauhan suara teriakan yang agak sedikit serak. Saya pun berhenti dan menunggu sosok asal suara tersebut karena sebagian jalan depan lorong tak memiliki lampu jalan. Lalu tampaklah lebih dekat, sosok pria paruh-baya yang tangan kanannya sedang menenteng kotak yang sudah pasti isi dalamnya adalah jajanan jalangkote (kuliner: sejenis pastel) dan bakwan udang, sedangkan tangan kirinya membawa beberapa botol bekas air mineral yang berisi saus. Sambil teriak dengan pelan dan serak seakan takut mengganggu jam istirahat warga sekitar, pria paruh-baya tersebut seakan yakin akan ada seseorang yang membeli jualannya.
Saya menunggunya mendekat. Dan setelah saya melihat lebih jelas, saya lebih terfokus pada kotak yang dibawanya yang isinya masih setengah. Kotak yang kira-kira seukuran keranjang belanjaan di supermarket. Pria paruh-baya tersebut sambil berteriak menyebut nama jualannya, ia menyempatkan memberi saya senyuman dan berkata 'tabe, Daeng' dan lewat begitu saja. Tak menawarkan ataupun memelas agar dibeli jualannya.
Sebelum berlalu lebih jauh, saya memandangi kembalian uang hasil belanjaan saya tadi yang masih tersisa enam ribu rupiah. Kemudian saya berjalan menghampiri pria paruh-baya penjual jalangkote dan bakwan udang tersebut yang kebetulan singgah duduk di depan rumah salah satu warga yang dilewatinya. Mungkin Beliau sedikit mengistirahatkan lelahnya. Hampir jam dua dini hari Beliau masih berkeliling menjinjing jualannya padahal keadaan sepi dan senyap lorong-jalanan tak-ubahnya seperti kuburan -- semua warga sudah terlelap dalam tidurnya.
Setelah bertanya harga jualannya, saya membeli tiga biji seharga enam ribu rupiah; dua bakwan udang dan satu jalangkote -- perbijinya seharga dua ribu rupiah. Setelahnya, saya iseng bertanya di mana Beliau tinggal dan dari jam berapa mulai berjualan. Sambil tersenyum pertanyaan saya pun dijawabnya. Katanya, pokoknya tidak jauh dari wilayah utara Makassar dan Beliau mulai berjualan dari pukul 18:00 sampai dagangan atau jualannya habis terjual (artinya Beliau berjualan hingga dini hari karena jualannya belum habis). Dan mendengar jawabannya saya pun tidak bertanya lebih lanjut. Barangkali jika bertanya terus menerus akan menghambat proses mencari rejekinya. Lalu Beliau pun melanjutkan langkahnya dengan senyum yang penuh keikhlasan. Saya pun kembali ke rumah untuk memroses jalangkote dan bakwan udang pun telur, mie instan serta kuaci yang tadi saya beli ini.
Pas di depan rumah saya baru ingat, beberapa hari yang lalu Beliau-pria paruh-baya penjual jalangkote dan bakwan udang tadi pernah saya lihat melintas di depan warung kopi waktu saya ngopi bersama dua sahabat saya sewaktu duduk di sekolah dasar. Di jam yang juga sudah larut malam dengan membawa jualan yang sama. Dan sempat kami perbincangkan di warung kopi yang membuat kami sebagai pria yang terhitung masih muda kalah gigihnya. Tapi kami sepakat bahwa itulah serangkaian hidup. Manusia punya segmen tersendiri dalam menjalani kehidupan.
Hingga mie instan telah matang siap disajikan bersama jalangkote dan bakwan udang. Saya masih teringat pria paruh-baya penjaja jalangkote dan bakwan udang tadi (saya lupa menanyakan nama Beliau), Beliau begitu gigih dan pasti, saya yakin Beliau seperti itu karena punya tanggung-jawab; istri pun anak-anaknya. Dan tiba-tiba saya mengingat sosok seorang ayah yang entah mengapa begitu yakin menghianati istrinya dan menelantarkan anak-anaknya demi wanita yang lebih muda dan cantik.
Entahlah. Jam di hape sudah menunjukkan pukul 03:42. Kuaci pun sebagai cemilan pencuci mulut sudah habis dua bungkus. Saya pun sudah kenyang dan mulai mengantuk. Baiknya saya istirahatkan mata, raga dan pikiran untuk menghadapi kisah-kisah seru yang dihadiahi Tuhan di hari esok.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
DAN KEHIDUPAN
Non-FictionMenit demi menit, selama manusia masih mengembus napas, selama itulah kehidupan memiliki banyak makna. Dalam tulisan ini berisi tentang kehidupan yang dijalani oleh penulis. Kehidupan yang tak lekat dari beberapa peristiwa. Dan jika tulisan ini penu...