"Kau di sana? Seorang diri?"
"Sudah biasa. Kenapa nada suaramu sama sekali tidak enak didengar, sih?"
"Bukannya apa, tapi ya..."
"Jim," Taehyung mendesah, "aku ini bukan orang berkelainan buta warna."
"Kau tahu bukan itu maksudku, Tae," di ujung sana, lewat jaringan ponsel yang tersambung, Taehyung bisa mendengar Jimin menghela napas panjang. "Kalau tidak salah, ada beberapa papan penunjuk jalan menggunakan warna di festival itu. Kau yakin tidak akan tersesat?"
"Dear!" tukas Taehyung, "memangnya kaupikir aku ini apa, bocah lima tahun?"
"Yah, hanya memastikan."
"Argumenmu invalid."
"Oke, oke, maaf." Apologi dituturkan. "Aku tidak perlu ke sana, kan?"
"Jangan sampai,"
"Memanggil Jin-hyung?"
"Kubunuh kau."
"Hanya bercanda, astaga, galak sekali."
"Kau yang memulai."
Ia mendengar suara terompet dibunyikan, begitu nyaring seolah membelah cakrawala dan hiruk pikuk Gwanghwamun Square. Ketika Taehyung mendongak dan mengamati keramaian itu, ada sekiranya pasukan marching band lewat dengan suara dentum-dentum drum, seorang mayoret yang gagah, dan padat khalayak umum yang mulai berkumpul di satu tempat. Festivalnya akan dimulai, sahut Taehyung antusias, lantas mematikan sambungan dan mengabaikan sederet kalimat Jimin yang tidak sempat ia dengar, terpotong dengan paksa.
Orang bilang, acara itu disebut dengan festival balon. Terjadi di pertengahan musim panas dan dari artikel-artikel yang Taehyung baca tentangnya, festival itu biasa terjadi sekali dalam dua tahun karena keunikannya akan warna dan gas-gas helium berterbangan di sepanjang langit yang membentang.
Kau seolah melihat kanvas dilukis dengan alami, katanya. Juga beribu-ribu balon layaknya kembang api.
Tapi, terkadang Taehyung tersinggung kalau membahas soal warna, dunianya itu hitam putih. Dan mungkin, belahan jiwanya yang berada di sisi lain dunia kecilnya pun merasakan hal yang sama.
Bukannya apa, Taehyung sebenarnya tidak ingin mengeluh, tapi ia memang tidak tahu sehebat apa warna-warna itu. Ia terlahir baik-baik saja, tanpa cacat atau kelainan apa pun, tanpa ada kesalahan dari dokter yang menanganinya, tanpa keluhan yang berakibat fatal. Itu normal-normal saja, kata Jimin, kata seseorang yang sudah menemukan belahan jiwanya di umur tujuh belas tahun dan lari-lari seperti orang gila karena begitu matanya menangkap warna, pemuda itu langsung bercerocos kalau warna itu terlihat sangat, sangat mengagumkan. It's so amazing!
Jimin bahkan sampai memberinya buku kecil berisi warna-warna dan simbol tertentu sebagai suatu petunjuk, meski sebenarnya itu tidak berguna. Lagipula, untuk apa pula buku warna-warna yang seharusnya ditujukan sebagai pilihan cat tembok itu? Dasar bodoh. Meskipun, yah, Taehyung seringkali membawanya ke mana pun ia pergi. Simbol-simbol itu berguna, setidaknya. Ia bisa tahu kalau kuning itu memiliki tanda berbentuk lingkaran, biru dengan dua garis yang melintang, atau tanda x untuk merah.
Sekarang, di umurnya yang ke-dua puluh dua, dunianya masihlah hitam putih.
Akan tetapi, sekali lagi, Taehyung tidak ingin mengeluh.
Lamunannya buyar ketika suara terompet kembali diletupkan, kini dipadukan dengan berbagai macam instrumen alat musik; perkusi, klasik, bahkan tradisional. Taehyung mendapati dirinya terbawa arus selama pembukaan festival berlangsung, melupakan sejenak dunia hitam putih miliknya dan tetek bengek tentang belahan jiwa atau apa pun itu. Gwanghwamun Square penuh dengan lautan manusia, meski untungnya tidak meninggalkan sesak dan barisan yang acak.
KAMU SEDANG MEMBACA
couleurs [kookv]
FanfictionKatanya, warna itu cantik. Taehyung pikir demikian. . . [kookv. soulmate!au]