Putih dan abu-abu. Itulah dua warna yang sedang mendominasi Beijing saat ini: langit kelabu dan salju yang menutupi sebagian besar bangunan, aspal dan pepohonan, membuatku paham mengapa Tuhan menciptakan banyak warna. Supaya yang kita nikmati adalah keindahan, bukannya kejengahan layaknya sekarang.
Ini memang bukan kali pertama aku harus berbalut jacket super tebal, scarft, neck gaiter, gloves atau memoles lip balm agar bibir tidak kering. Empat tahun lalu, sudah kurasakan bagaimana sensasi nyaris beku kala mengikuti Wintercamp bersama beberapa mahasiswa asal Indonesia di kota yang sama.
Tetapi berteman dengan suhu yang selalu di bawah minus sejak akhir November hingga Februari mendatang bukanlah sesuatu yang harus dibanggakan. Terutama bagiku yang lebih dari dua puluh tahun terbiasa dengan iklim tropis. Kerinduanku kian menjadi bila mengingat hangatnya Pontianak yang sesungguhnya cenderung panas.
Apa daya, yang bisa kuperbuat rupanya cuma membiasakan diri dan bersyukur. Bagaimana tidak, puluhan komentar pada foto-foto yang kuunggah di Facebook dan Instagram nyaris bernada serupa: how lucky you are, duh envy, kapan aku bisa ke sana? ... Sebagian lagi mengucapkan selamat dan mendoakan yang terbaik.
Namun, dari sekian puja-puji itu kutemukan jua beberapa yang tak suka. Tampaknya, kau adalah satu di antaranya.
Mengaku sajalah. Cukup membuatku bertanya-tanya soal motivasi bijak dan dukungan yang kau usahakan sekuat tenaga itu. Untuk apa kau perkenalkan aku pada pepatah Arab "Tuntutlah ilmu hingga ke Negeri China.", tetapi tatkala kuterjemahkan itu secara harafiah, kau malah tak lagi bisa kuajak bicara?
Aku enggan berputus asa, persis yang kau minta dan sudah ribuan kali panggilan kulayangkan tanpa sahut, masih saja kupencet nomor yang sama dan berharap disambut sapa. Tetapi semuanya dijawab oleh satu wanita dengan kata-kata yang itu-itu saja.
"Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan ...,"
Seseorang yang kukenal serba ingin tahu kini membuat cerita-ceritaku berlumut di kepala. Serupa sekian kemarin yang sudah enggan kuhitung. Aku mulai lelah untuk mahfum. Aku muak mencari-cari seulas senyum serupa di hari resmiku menyandang gelar sarjana — yang sampai hari itu berakhir, ucapan selamat lewat pesan singkat pun tak pernah kuterima.
Kau kembali mengalpakan diri saat aku dinyatakan berhak mendapat beasiswa S2. Kau menolak mengulang kebiasaanmu: datang meski tak diundang. Sebab kita memang kerap menjabat sebagai si penyelenggara pesta bersama-sama.
Aku semakin tak habis pikir untuk apa semua pencapaian ini tanpamu yang lenyap bagai asap dibekap hujan yang kelewat kerap?
***
"Nǚpéngyou?"
Moon Hyun-sik, classmate-ku asal Negeri Ginseng satu-satunya yang tidak doyan berbedak dan berkutek, akhirnya tak kuasa membendung rasa penasaran.
Tingkah polahku jelas terbaca tatkala menghubungimu meski jelas jawabmu: tiada. Aku setengah ingin membanting smartphone, sesekali menatap buah kunci berukir nomor 520, mondar-mandir dan menyepak snowman yang sudah susah payah Hyun-sik bikin. Dia sebetulnya sudah boleh jengkel karena tadi aku mengajaknya jauh-jauh ke Tiāntán di tengah suhu yang sanggup memaksamu menjadi penunggu perapian, minus lima belas derajat. Sementara teman-teman di Dorm tengah asyik menikmati hidangan Natal sembari berdendang "Xianglíng", "Píng'ān Yè" dan lagu-lagu Natal yang dinyanyikan versi Spanish, Japanese atau Russian.
Aku belum merespon apa-apa dan Hyun-sik bergumam sepatah-dua dalam bahasa ibunya.
Rahangku mengeras, tak lagi ada gemeletuk gigi. Tetapi ini sama sekali bukan karena sikapnya yang entahkah mengumpat atau memuja. Telah kulupa pula dingin ini. Sebab aku lebih tak kuasa dengan dinginmu yang melebihi Beijing di bulan Desember.
YOU ARE READING
Second Christmas without You
Short StoryZoran menerjemahkan secara harafiah pepatah "Kejarlah ilmu hingga ke Negeri China." dan di sinilah dia sekarang: Beijing Language and Culture University, memperdalam penguasaan Bahasa Mandarin. Namun Zoran bertanya-tanya apa artinya saat kau telah m...