Gadis itu berjalan pelan menyusuri trotoar yang sedikit basah terkena air hujan yang mengguyur kota beberapa jam lalu. Kaki jenjangnya yang dibalut dengan sepatu boots tampak indah saat berjalan. Ketukan berirama dari alas kakinya membuat alunan musik yang tidak beraturan di tengah-tengah keramaian kota. Sudah banyak kendaraan bermotor berlalu-lalang melintas di jalan raya. Pagi memang masih dingin, namun itu tak menyurutkan semangatnya untuk pergi ke kampus.
“ Ryn! “ umpat seseorang di belakang gadis tadi. Ia menyebut namanya setengah berteriak. Gadis yang merasa mempunyai nama itu dengan gerakan cepat memberhentikan langkahnya lalu berbalik.
“ Ayah menyuruhmu untuk tidak kuliah dulu hari ini. Dia akan kemari. “ Alissa, kakak perempuan Auryn itu menjelaskan tujuannya mengejar dirinya. Nafasnya masih terengah-engah.
“ Mendadak sekali. Untuk apa ayah kemari? “ Auryn menarik tangan Alissa untuk duduk di bangku yang tersedia dekat tiang listrik.
“ Aku juga tidak tahu. Kurasa ayah merencanakan sesuatu untuk kita berdua. “ Alissa mengerutkan dahinya, ia tampak berfikir.
“ Jelaskan padaku apa yang akan ayah rencanakan. Kau terlalu terbelit-belit dan banyak bicara. “ Auryn merasa kakaknya itu terlalu lama untuk menjelaskan kalimatnya, kenapa tidak to the point saja pikirnya. Itu membuatnya bingung.
“ Aku tak tahu pasti. Mungkin ayah menyuruh kita berdua untuk pindah ke Inggris dan melanjutkan sekolah disana. “ jelas Alissa. Matanya menerawang ke arah depan, memperhatikan setiap mobil yang lewat.
“ What? Kau tak salah bicara bukan? Tapi, untuk apa? Aku sudah cukup nyaman tinggal disini bersama kau. “ Auryn tampak kesal dan protes dengan pendapat kakaknya.
“ Kenapa jadi kau yang memarahiku? Salahkan ayah, Auryn! “ Alissa menatap Auryn tajam.
“ Maaf. “ ucap Auryn pelan dan singkat. Ia menunduk, mencerna semua kalimat Alissa. Ini terlalu berat. Meninggalkan kota kelahirannya untuk pindah ke negara tempat ayahnya bekerja. Auryn cukup bahagia tinggal di Jerman bersama kakaknya, Alissa. Terlalu banyak kenangan yang sulit dilupakan jika ayahnya memang benar-benar akan memindahkannya ke Inggris.
“ Sebentar lagi ayah akan ke rumah. Kita pulang saja lalu bicarakan hal ini baik-baik. “ Alissa mulai beranjak dari tempat duduknya. Menepuk punggung Auryn singkat. Auryn mendongak lalu mengiyakan ajakannya.
Pukul 08.49. Ayah Auryn dan Alissa, Mr. Russel sampai di rumahnya yang terletak di ujung kota dekat dengan toko roti. Tak terlalu besar, dan memang itu hanya bisa ditempati untuk dua orang saja. Mr. Russel terlihat lelah. Wajahnya lesu dan kantung matanya berwarna hitam, menandakan ia jarang tidur. Dan kalaupun tidur itu hanya beberapa jam saja, mengingat posisinya sebagai pemegang jabatan tertinggi salah satu perusahaan di pusat kota Inggris, London. Banyak hal yang harus dikerjakan di kantornya, Auryn yakin ayahnya terpaksa ambil cuti hanya untuk pergi mengunjunginya di Jerman.
“ Maafkan ayah, ini memang terlalu terburu-buru. Masa depan kalian berdua akan lebih baik disana. Ayah tahu kalian berat meninggalkan tempat ini karna makam ibu ada disini kan? Ayah tahu itu. Kalian bisa mengunjunginya kapanpun kalian mau. Tapi ayah mohon, penuhi permintaan ayah mengenai hal ini. “ Auryn mendesah. Ia luluh dengan ucapan ayahnya. Dengan berat hati akhirnya dirinya dan juga Alissa menyetujui permintaan ayahnya untuk ikut bersamanya ke Inggris. Memulai hidup baru disana.
“ Baiklah, kami berdua setuju. Tapi ayah harus janji tidak akan melarang kami untuk kembali kemari mengunjungi makam ibu sewaktu-waktu. “ Alissa mengutarakan pendapatnya.
“ Tentu. Tidak akan ada yang melarangmu. “ mendengar itu Mr. Russel tampak bahagia, lalu memeluk erat kedua putrinya. Matanya berbinar-binar memandang kedua putrinya yang telah tumbuh dewasa. Memang ia sadar jarang memberikan waktu lebih banyak pada putrinya itu, tapi mau bagaimana lagi? Ia bekerja keras seperti ini juga untuk kebaikan kedua putrinya agar dapat melanjutkan kuliah dan membiayai segala kebutuhan yang diperlukan.