The script - The Man that can't be moved
Ega
Bangunan di depan Athaya masih berdiri kokoh. Papan bertuliskan panti asuhan sudah waktunya diganti. Bangku taman yang dulu berwarna hijau sekarang berwarna coklat dengan aksen klasik. Sepertinya Bu Rus masih suka mendekorasi ulang.
"Permisi." Athaya menjulurkan kepalanya. Pandangannya beredar ke seluruh tempat yang bisa dijangkau oleh mata. Ujung bibirnya tertarik melengkung sempurna.
"Ya Allah Athaya." Bu Sri berlari kecil ke arahnya. Merangkul pundak Athaya mengajaknya untuk masuk.
"Ibu sehat?" Tanya Athaya saat pantatnya terduduk sempurna di sofa empuk.
"Alhamdulillah, nduk." Jawab Bu Sri sambil menurunkan secangkir teh juga jajanan pasar seadanya. Lemper, mendol, tahu isi, pisang goreng, nagasari, dan sarang burung.
"Kalau Bu Rum sama anak panti gimana, Bu?"
"Ibu sama anak panti sehat kok, nduk." Kalimat itu keluar dari mulut Bu Rum. Beliau berdiri di dekat gorden yang memisahkan lorong dengan ruang tamu. Perempuan paruh baya dengan wajah yang semakin menua. Beliau duduk di samping Athaya lalu memeluknya.
"Oh ya, kemarin Regan ke sini." Ucapnya ketika melepas pelukan manis itu. Bagaimanapun juga kalimat itu berhasil membuat Athaya hampir hilang kendali.
♻
Athaya membuat coretan macam macam di tisunya. Dari gambar pemandangan dengan dua gunung sampai gambar roti sobek. Gambar roti sobek beneran bukan yang seperti yang kalian pikirkan. Bahkan pada pelajaran sejarah indonesia sebelumnya pun Athaya melakukan hal yang sama. Disa yang notabennya teman sebangku saja seperti tidak ada.
"Ya, ada apa sih?" Tanya Disa. "Lo nggak bisa ngerjain ulangan fisika tadi?"
Athaya hanya menggelengkan kepalanya lalu menegakkan badannya. Pandangannya tertuju pada Disa. "Gue laper."
Disa yang mendengar itu langsung melorotkan bahunya. Bagaimana bisa selama dua pelajaran dia melakukan hal yang sama hanya karena lapar? Mencoret coret tisu. Bahkan tisu Disa tinggal menyisakan dua lembar saja.
"Kalau laper itu makan bukan menghambur hamburkan tisu orang. Kalau ingus gue keluar baju Lo korbannya." Ucap Disa sambil melangkah keluar. "Kantin, yuk. Gue tau Lo laper."
"Kalau dibayarin gue mau."
"Iya." Jawab Disa
"Gue mau dong, Dis" pinta satu dua tiga anak di kelas. Tidak tidak, lebih dari tiga maksudnya.
"Temen macam apa? Giliran traktiran aja nongolnya baru sekarang."
♻
Sebelum ke kantin, Athaya dan Disa mampir ke kelas 11 Ipa 2.
"Eh, Ga. Lo tau Sabrina gak?" Tanya Disa kepada Ega yang kebetulan baru saja keluar dari kelasnya juga yang memang pada kenyataannya adalah orang yang digosipkan anak kelas dengan Sabrina. Gosip kelas? Gosip kelas hanya akan membuat dua insan membuat jarak.
"Enggak." Jawab Ega. "Eh, Lo Athaya, kan? Ada salam dari Regan." Ega spontan mengucapkan kalimat itu mengetahui Athaya ada di depan, tepatnya di bawah dengan beberapa sentimeter jaraknya.
Athaya yang tadinya jongkok untuk mengeratkan tali silaturahmi si tali sepatu langsung menengadahkan kepalanya. Dia berniat memperjelas apa yang didengarnya tadi. Namun, niatnya hempas begitu saja. Telinganya mendengar dengan jelas apa yang dikatakan oleh gebetan kelasnya Sabrina.
"Regan?" Tanya Athaya sambil menegakkan badan. Badanya berhadapan dengan Ega. Terlihat jelas siapa yang lebih tinggi dari mereka. Disa yang paling tinggi. Tinggi Disa lebih sedikit dari Ega.
"Iya, Regan." Jawab Ega santai. "Harusnya Lo nggak lari waktu itu. Supaya dia bisa ngejelasin semuanya."
Athaya mengerutkan dahinya. Apa artinya Regan menceritakan semua kepada makhluk di depannya ini?
"Iya Regan cerita ke gue. Tapi, ada kok yang enggak dia ceritain ke gue. Misalnya-" jawab Ega seperti bisa membaca pikiran Athaya. Namun, belum selesai Ega menjawab ada satu makhluk Tuhan yang gak seksi seksi amat menyela ucapannya.
"Goblok. Itu namanya diceritain." Sela Disa sambil mendorong Ega dengan tenaga kecil. Disa mencoba untuk membaur dalam percakapan ini walaupun ia tidak tau siapa Regan itu. Tapi, ia tau batasan dimana ia tidak akan ikut campur dalam konversasi ini. Sediam apapun Athaya pada Disa dan Sabrina, kedua teman Athaya ini tidak akan memaksa ia untuk buka mulut. Untuk apa memaksa Athaya supaya membuka privasinya hanya karena embel embel sahabat. Justru sahabat yang benar adalah membiarkan sahabatnya buka mulut tanpa paksaan. Dengan begitu mereka bisa saling mendewasakan.
"Regan memang gak cerita ke gue tentang hal hal yang gak ia ceritain. Tapi, ada satu dua hal yang gue tau karena gue gak sengaja lihat." Jawab Ega. "Tenang aja, dua hal itu gak memalukan kok."
"Terus?"
"Hal yang gak bisa Regan ceritain. Mungkin terlalu mengingat kalau ia ceritain." Jawab Ega. "Gue pergi dulu."
"Eh bentar." Sela Athaya membuat Ega berhenti dan alisnya terangkat sebelah.
"Apa?"
Athaya berusaha menelan salivanya. Mencoba perlahan lahan untuk bertanya. Menata kata kata. "Regan tau gua disini, gak?"
Penggalannya seperti ini: Regan//tau//gue disini//gak? Aneh memang. Tapi, nama Regan entah kenapa berhasil membuat seorang Athaya harus merangkai kata kata. Padahal Athaya mendapat nilai yang mendekati sempurna untuk setiap subbab dipelajaran Bahasa Indonesia. Lepas dari murid kesayangan Pak Tono, guru bahasa Indonesia, rahasia umum jika Athaya adalah Ratu Bahasa.
Ega tersenyum sekilas lalu menghembuskan nafasnya."Awalnya dia nggak tau. Walaupun gue tau, gue gak bakal kasih tau. Tapi, akhirnya dia tau."
Dahi athaya berkerut. "Kenapa Lo nggak ngasih tau? Terus, gimana bisa dia tau?"
"Lo mau dia tau? Udah ah, Lo banyak tanya. Gue udah ditunggu Bu Ros." Regan melangkah terburu buru menuju ruang guru.
"Udah deh, gak usah mikirin siapa itu? Regal?"
"Emang gue mikirin biskuit? Regan." Ucap Athaya dengan menahan agar tidak memutar matanya. Hari ini dia sudah banyak memutar mata. Saat pelajaran fisika 5 kali saking susahnya, dan saat sejarah indonesia 3 kali saking bosennya. Tidak baik terlalu banyak. Nanti jadi kebiasaan.
"Katanya laper. Yuk, paling Sabrina udah di kantin." Ajak Disa.
Tanpa Disa ketahui alasan Athaya tidak mood tadi bukan karena lapar, tapi memang ada yang harus dia rahasiakan. Dia tidak ingin membuat teman temannya terlalu terbebani dengan membantu Athaya meluruskan masalahnya.
Juga tanpa Athaya ketahui, Ega adalah kunci supaya dua insan itu bisa meluruskan masalahnya. Masalah yang kecil namun semanki besar karena Athaya yang mencipta jarak. Padahal Regan berusaha untuk mengikis jarak.
Athaya langsung terdiam di tempatnya saat berada di depan kantin 3.
Bukannya Regan di Bandung? Kenapa dia disini? Lalu, siapa Ega? Apa sangkut pautnya dengan Ega? Batin Athaya penuh tanda tanya.
↔↔↔
tbc.