Teaser Part 3

13.5K 436 23
                                    



Aku nggak pernah suka membaca buku-buku berbau ekonomi dan politik—kecuali buku referensi materi kuliahku—tapi, di sini lah aku berdiri, di samping Keynan yang mata dan tangannya fokus menyusuri satu per satu buku di rak.

Aku mendekap beberapa komik hasil jarahanku sambil sesekali memperhatikan jari-jari panjang Pak Keynan membolak-balik buku di tangannya.

"Kamu suka banget baca buku, ya?" tanyaku sambil memutar kepala demi membaca judul buku yang sedang dibaca Keynan.

Keynan manganggut-anggut tanpa bersuara.

"Suka buku-buku ekonomi aja?"

Jawabannya singkat-singkat.

"Enggak juga."

"Suka baca buku fiksi?"

"Kadang."

"Kalau lagi serius nggak suka diganggu, ya?"

"Tergantung siapa yang ganggu."

"Kalau aku yang ganggu?"

"Nggak apa-apa."

Aku tersenyum mendengar jawaban Keynan. Memutar tubuhku sejenak, memastikan tidak ada orang lain yang sedang mencuri dengar obrolan kami.

"Kamu suka warna apa?" aku mulai bertanya lagi.

"Hitam."

"Ooh... Suka musik klasik?" tanyaku makin ngawur.

"Suka."

"Ooh... Suka film horror?"

"Hm...tergantung."

"Suka... sama aku?" kali ini aku hanya berniat melontarkan pertanyaan candaan. Candaan sekaligus harapan.

Aku menunggu harap-harap cemas jawaban lelaki yang sedang memusatkan perhatiannya pada buku "The Innovation Killer" karangan Cynthia Barton Rabe. Kecuali di dalam buku itu terdapat liputan acara konser Maroon 5 di Auckland kemarin, baru lah aku akan melakukan hal yang sama seperti yang Keynan lakukan sekarang.

Detik selanjutnya, Keynan menutup buku yang tengah dibacanya, menurunkannya, lalu menatapku dengan saksama.

Satu, dua, tiga, detik. Bukannya menjawab, Keynan hanya tersenyum, berusaha menahan tawa, dan meraih buku lain yang ada di dalam rak.

Aku sempat berpikir apakah pertanyaanku sekonyol itu sampai membuat Keynan ingin menertawaiku. Nyaliku langsung menciut. Kalau dipikir-pikir, pertanyaanku tadi bukan cuma konyol, tapi juga bodoh. Kenapa aku sampai kepikiran bertanya begitu, ya? Untung Keynan nggak keburu melengos dan kabur.

Aku langsung menunduk malu, meliriknya beberapa detik, memastikan lelaki itu kembali sibuk dengan buku di tangannya, terpaksa berpuas hati hanya mendapatkan senyuman saja sebagai jawaban atas pertanyaan konyolku. Dan tentunya, berusaha menyembunyikan rasa malu atas pertanyaanku tadi.

Aku memutuskan untuk duduk di kursi kecil yang diperuntukkan untuk anak-anak yang ingin melukis dengan media pasir.

Sedikit tak tahu malu, tapi pilihan apa yang kupunya ketika kakiku tak mau lagi berkomprongi dengan hak sepatu sembilan sentimeter yang menopang hampir lima puluh persen penampilanku hari ini—demi bisa menyejajarkan tubuhku dengan Keynan.

Keynan telah berjongkok di depanku ketika aku tengah memijat-mijat pelan bagian bawah betisku.

"Capek?" tanyanya dengan senyum di wajahnya.

Aku hanya balas tersenyum dan menjawab, "Sedikit."

Dia tertawa pelan melihat raut meringisku. "Kamu sih, hiperaktif...." Keynan ikut memijat pergelangan kakiku pelan. "Masih bisa jalan?"

Aku mengangguk, lalu bangkit berdiri dengan bantuan Keynan.

"Harusnya kamu nggak perlu menyiksa diri kalau memang nggak nyaman dengan sepatu setinggi itu," komentarnya sambil menunjuk sepatuku. Aku hanya terkekeh pelan, menahan rasa sakit di telapak kakiku.

Keynan mengambil alih tumpukan komik di tanganku, lalu lelaki itu melingkarkan tanganku di lengannya.

"Kamu pegangan sama saya aja biar nggak jatuh."

Tubuhku nggak akan jatuh, Keynan, tapi justru hatiku yang jatuh. Tolong dipungut, ya.

Ya ampun cara bicara lo, ya, Dafeeya, kayak lo penggemarnya William Shakespeare aja. Kuping gue gatal dengarnya. Hiy! Aku yakin Kara akan mengomel dan meledekku begitu kalau sampai dia dengar kata hatiku barusan.

Setelah berkata demikian, kami membayar buku-buku kami ke kasir—komikku dimasukkan ke dalam daftar buku yang dibeli Keynan. Aku sudah mengeluarkan dompet dari tasku, tetapi lelaki itu berkeras bahwa komik-komik itu adalah hadiah karena aku sudah bersusah payah membantunya membuat presentasi serta bersedia menemaninya datang ke acara seminar hari ini.

Setelah itu, kami pun pulang. Perjalanan yang terasa menyenangkan dengan obrolan tentang para penggemar Keynan di kampus. Lelaki itu sadar bahwa hampir seluruh penghuni kampus menjadikan ia dan Bu Rianda sebagai bahan gunjingan. Tapi, Keynan tak pernah mau ambil pusing.

Dia bilang,

"Hidup saya bukan drama televisi, bukan untuk dikonsumsi publik. Cukup saya, keluarga saya, orang-orang yang saya sayangi, serta orang-orang yang punya peran penting dalam hidup saya yang perlu tahu."

Aku cuma menganggut-anggut kala Keynan menjabarkan betapa tak acuhnya ia dengan gosip mengenai dirinya.

"Jadi, kamu tahu kan maksud saya bilang ke kamu bahwa saya dan Rianda hanya bersahabat?" tanyanya ketika kami sudah sampai di depan rumah putih milik Keynan.

****

Untuk penerbitan direncankaan baru bisa Februari dan nanti akan ada di toko buku offline, online, dan ada versi eBook-nya juga. Wah, nggak sabar!

PS: Tunggu voting cover-nya, ya! Dan jangan lupa follow instagramku: falamalina untuk info naskah yang diterbitkan dan acara seru lainnya ;)

(Diterbitkan)The Great Teacher My LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang