"Emir, aku ingin putus."
"Kenapa kamu tiba-tiba minta itu?"
"Karena kita udah nggak cocok lagi."
"Kenapa kita nggak cocok lagi?"
"Waktu kita nggak pernah cocok. Kalau kamu lagi libur, aku lagi ngerjain proyek. Kalau aku lagi lowong, kamu balik lagi ke Sumatra."
Cowok itu menarik napas panjang. Menatap gadis di depannya lekat-lekat. Lalu ia mulai membalas ucapan Adrie, "Boleh tunggu tiga bulan lagi? Dinas ke Sumatra selesai tiga bulan lagi. Setelah itu, aku yakin waktu kita akan cocok," pinta Emir kepada Adrie. Tak ada nada memohon dalam ucapannya. Justru ucapan itu terdengar seperti negosiasi.
Adrie, gadis di depan Emir itu, terdiam sejenak. Di otaknya, negosiasi dari Emir tadi berputar-putar. Ia menimbang-nimbang tawaran tersebut. Tiga bulan? Mungkin benar, sebaiknya Adrie tak gegabah. Tiga bulan juga cukup untuk memikirkan keputusannya putus dengan Emir secara masak-masak. Lagipula, hubungan ini sudah berjalan 2 tahun. Bukan waktu yang sebentar.
"Oke, aku setuju," ucap Adrie akhirnya. Sebuah senyum puas mengembang dari bibir cowok itu.
***
Tiga bulan itu sudah terlewati. Benar, penugasan Emir di Sumatra sudah selesai. Saat ini ia bertugas di Jakarta. Walaupun beberapa waktu ia harus pergi ke beberapa daerah di Indonesia dan United States, tetapi ia tidak menetap di luar kota seperti tiga bulan lalu. Sedangkan Adrie masih sibuk dengan proyek-proyek kantornya yang datang silih berganti.
Malam itu, mereka berbicara di teras rumah Adrie. Seperti malam-malam minggu biasanya. Malam itu, bulan sabit bersinar terang di langit. Langit tampak bersih dari gumpalan awan. Semilir angin berhembus, membawa hawa dingin. Adrie bersedekap dan mengusap-usap lengan kemudian seraya berujar, "Emir, aku mau putus."
Lagi, cowok itu menghela napas panjang mendengar ucapan Adrie. "Kenapa kamu mau kita putus?" tanya Emir pada gadis itu. Pikirnya, bukankah waktu mereka untuk bertemu sudah tidak sesusah dulu?
"Aku rasa kita udah nggak cocok."
"Apalagi yang nggak cocok? Bukannya waktu kita udah cocok?"
"Ya, waktu kita memang udah cocok. Tapi, ternyata ketika kita mulai sering ketemu lagi, obrolan kita udah nggak cocok. Kayak malam ini, kita lebih banyak diam. Semua hal udah pernah kita obrolin. Semua lagu John Mayer kesukaan aku udah kamu mainin dengan gitarmu.
"Aku ngomongin tentang art exhibition di Galeri Indonesia Kaya, kamu nggak ngerti. Kamu ngomongin tentang harga minyak dunia dan bajingan korporat, aku nggak ngerti."
"Tapi kita bisa ngobrolin tentang perubahan musik John Mayer dari album ke album."
"Kamu bahkan nggak ngerti kalo aku bahas tentang serial Westworld!"
"Aku belum sempat nonton serial itu! Lagian, kenapa kamu nggak nonton sejenis drama Korea aja sih yang lebih gampang dicerna, jadi aku nggak susah ngikutinnya?!"
"Aku nonton! Tapi aku nggak pengen diskusi karena aku udah paham sama dramanya. Kalo Westworld kan banyak yang harus di diskusikan!"
Emir terdiam dan kembali menarik napas panjang.
"Kan, hal kayak gini aja kita nggak sependapat," ujar Adrie lagi.
"Nanti ya, aku mulai gikutin serial Westworld. Biar obrolan kita bisa nyambung," ucap Emir sambil menyelipkan beberapa helai poni di kepala Adrie ke balik telinga. Mengalah. "Jangan putus sekarang, sebentar lagi lebaran. Emang kamu siap kalau ada yang nanya, 'pacarnya mana?'"
KAMU SEDANG MEMBACA
Mindblown
Short StoryI get lost in the song's universe. Kumpulan cerita yang terinspirasi dari sebuah lagu. Bisa saja bukan karena interpretasi lagu tersebut, tetapi musiknya seperti membuka gerbang ke dimensi lain.