Aku [Tak] Seburuk Itu

167 12 3
                                    

Sejak sore hujan turun membasuh kampung, membuat orang-orang menarik selimut lebih cepat daripada biasanya. Suara air hujan yang menimpa genteng bagai meninabobokan mereka. Sayangnya, suasana tersebut tak berlaku untukku sekarang. Sepertinya aku tak bisa pulang hari ini. Cuaca yang sepanjang hari cerah membuatku abai untuk membawa payung ataupun jas hujan.

Jam dinding bergambar pohon kelapa yang tergantung sedikit miring di ruang tamu sempit ini telah menunjukkan pukul sembilan malam. Sudah lima menit keheningan merajai suasana. Hanya suara jam dinding yang seolah berusaha mengalahkannya, justru membuat hatiku gelisah. Akankah aku benar-benar menginap di rumah yang hanya dihuni oleh seorang lelaki yang kini duduk di sampingku ini?

Aku berkunjung ke kosnya untuk menghabiskan sore bersama, seperti biasa. Aku tak menyangka jika hujan deras akan turun yang sepertinya takkan reda hingga besok pagi. Suasana di antara kami masih normal sampai dia berkata, "Sepertinya hujan tak akan reda sampai besok. Bahaya kalau pulang hujan-hujan begini. Lebih baik kamu menginap malam ini." Aku hanya diam, membuat kami canggung satu sama lain.

***

"Kamu baru pulang?" Perempuan tua yang sedang memasak itu menegurku saat mendengar aku membuka pintu.

"Iya! Aku capek, mau istirahat," balasku tanpa memandang ke arah dapur.

"Makan dulu, sebentar lagi sarapannya siap," ucapnya lagi.

Aku tak menjawab, menutup pintu kamar dengan sedikit keras dan memutar kunci.

"Anak itu baru pulang?" Seorang lelaki tua bertanya sinis pada istrinya.

"Iya."

"Dasar anak tidak tahu diri! Masih bau kencur sudah berani pulang pagi!" Dia mulai mengomel.

"Sudahlah, Mas, tidak enak didengar tetangga." Perempuan tua itu mencoba menenangkan.

Kubanting tubuhku keras-keras di kasur, menghela napas panjang. Suara Kakek yang masih marah-marah terdengar jelas dari kamarku. Sesekali Nenek berusaha menenangkan, namun justru dirinya sendiri yang kena marah. Ingin aku berteriak menghentikan mereka, namun urung. Masalah akan semakin panjang jika aku melakukan itu. Akhirnya aku memutuskan untuk memejamkan mata, mengabaikan sumpah serapah Kakek padaku yang masih meledak-ledak.

Aku Mutiara, gadis 16 tahun yang duduk di kelas 11 SMA. Aku adalah putri tunggal dari pasangan yang memutuskan untuk pergi merantau ke luar kota sejak anaknya baru berusia 4 tahun. Aku hidup dan dibesarkan oleh Kakek dan Nenek. Selama 12 tahun merantau, mereka hanya pulang 2 kali. Pertama saat aku kelas 4 SD dan kedua saat aku masuk SMP.

Aku adalah anak yang ceria, mudah bergaul, dan cukup pandai di kelas. Sejak SMP rangkingku selalu masuk dalam 5 besar. Namun akhir-akhir ini aku tahu, bahwa aku sering menjadi bahan gunjingan tetangga. Ibu-ibu di tukang sayur keliling, bapak-bapak di angkringan ujung gang tak luput membicarakanku setiap kali ada kesempatan. Mulut mereka gatal kalau tidak bergunjing saat melihatku pulang sedikit kemalaman diantar oleh Helmi, pacarku. Mungkin mereka berpikir bahwa aku adalah perempuan nakal. Hal itulah yang membuat Kakek sering marah akhir-akhir ini.

Untuk ukuran seorang anak yang minim perhatian orangtua, apa yang kulakukan ini menurutku wajar-wajar saja. Aku lebih suka berada di luar bersama teman-teman daripada di rumah. Bersama mereka aku mendapatkan perhatian yang tak kutemukan di rumahku sendiri. Salah satu orang yang selalu memberiku perhatian adalah Helmi. Dia adalah lelaki yang setia, selalu ada kapanpun aku membutuhkannya. Bahkan kalau boleh kubilang, perhatiannya padaku melebihi orangtuaku sendiri. Maka dari itu, aku lebih banyak menghabiskan waktu dengannya.

Aku [Tak] Seburuk ItuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang