1. Hidupku yang Tak Lagi Menyenangkan

10.9K 881 44
                                    

Chloe marah. Chole menangis. Tidak, mengamuk lebih tepatnya. Chloe menyambar benda apapun yang ada di dekatnya, lalu melemparnya ke arah Dad. Chloe berguling-guling di lantai. Jari-jemarinya mencakar-cakar kulit putih pucat tubuhnya sendiri. Tangisan Chloe berubah menjadi raungan ketika Dad bangkit berdiri dan meninggalkan kami. Dad meraih mantelnya dan pergi keluar.

"Nao, urus adikmu. Dad harus segera membuka toko."

Aku mendesah frustrasi.

Chloe kami, seorang balita berwajah lucu dan cukup manis kalau sedang tidur—satu-satunya kegiatan yang bisa membua Chloe diam. Usianya empat tahun dan ia belum bisa berbicara dengan benar. Chloe kami sangat hiperaktif dan seringkali mengamuk ketika permintaannya tak dituruti. Ketika ia mengamuk, Chloe mulai melukai dirinya sendiri. Itulah sebabnya kami tak pernah membiarkan kuku Chloe tumbuh panjang. Sekujur tubuhnya selalu penuh sayatan ketika Chloe mengamuk. Kami juga selalu menaruh benda-benda tajam jauh dari jangkauan Chloe.

"Berhentilah menangis, Chloe. Sebentar lagi aku harus pergi ke toko."

Aku meraih Chloe ke dalam gendonganku. Mengabaikan pukulan bertubi-tubinya di punggungku. Percayalah, Chloe adalah balita dengan tenaga yang kuat. Pukulannya terasa lumayan sakit di punggungku. Dia juga mencubit-cubiti leherku.

Oh, ya, sebelum aku lupa. Perkenalkan, namaku Naomi. Orang-orang biasa memanggilku Nao. Hanya kakek pedagang daging di toko sebelah yang memanggilku dengan sebutan Cassandra—atau Cass, ringkasnya—panggilan ketika ibuku muda sekaligus nama tengahku. Aku berasal dari keluarga sederhana dengan tingkat ekonomi cenderung rendah yang hanya mengandalkan toko swalayan sebagai sumber utama pemasukan kami. Toko ini telah berdiri sepuluh tahun lamanya. Tepatnya, sejak usiaku delapan tahun.

Usiaku dengan Chloe berbeda jauh, empat belas tahun. Ibu kami meninggal dua tahun yang lalu karena kanker rahim yang di deritanya setelah melahirkan Chloe. Aku sendiri tak begitu tahu penyebabnya. Kematian Ibu membuat Dad bersedih dan frustrasi. Dad jadi lebih pendiam. Dulu aku dan Dad cukup dekat. Kami sering menonton acara komedi di tv bersama hingga larut malam. Tetapi, sejak Ibu meninggal, Dad hampir tak pernah lagi menonton acara komedi. Dad hanya menonton berita dan acara olah raga.

Aku memakaikan Chloe mantel dan kaus kaki karena kami harus pergi ke rumah Bibi Margareth, adik perempuan Ibu dan satu-satunya pengasuh yang tahan dengan sikap Chloe. Aku selalu menitipkannya ketika aku harus pergi bekerja di toko bersama Dad. Chloe berhenti meraung setelah aku memberikannya permen lolipop yang kebetulan ada di saku mantelku.

Aku memandang mata bulat dengan bola mata berwarna biru di depanku.

"Nah, sekarang jadilah gadis yang baik. Jangan merepotkan Bibi Margareth, oke?"

Chloe tidak menjawab. Asyik dengan permennya. Aku membopong Chloe keluar dan kami berjalan menuju Glenthorne Road, tempat di mana rumah Bibi Margareth berada.

****

Aku merapatkan mantelku ketika kakiku hampir sampai di depan toko swalayan kami. Namanya JoA Market. Kepalaku menunduk memperhatikan daun-daun yang berceceran di trotoar. Udara semakin sejuk beberapa hari belakangan. Mungkin sebentar lagi musim dingin tiba. Menyenangkan. Biasanya Ibuku suka membuat sup ayam ketika musim dingin. Sekarang aku yang melanjutkan tradisi itu.

Kakek Nelson menyapa ketika aku lewat di depan tokonya.

"Hai, Cass! Harimu baik?" serunya ramah.

Aku tersenyum seadanya. "Pagi ini Chloe mengamuk sebentar. Jadi, hariku bisa dikatakan tidak buruk juga."

Kakek Nelson terkekeh mendengar jawabanku. "Kenapa kau tak membawanya bersamamu?"

"Dan membuat Dad marah karena Chloe akan membuat toko kami hancur dengan melemparkan semua isinya ke jalan raya? Tidak. Terima kasih."

The Sky OccupantWhere stories live. Discover now