prolog

545 4 1
                                    

                   

Tidak ada yang namanya ketenangan di kediaman keluarga beranggotakan 7 orang. Belum lagi, ditambah anggota tambahan lain. Seperti si Mbak, Om supir, Om kebun, dan lain-lain. Mau sampai kapanpun, kata tenang tidak akan pernah pas di sana. Jam baru saja mendaratkan jarum pendeknya di angka 6, dan matahari pun masih malu-malu untuk bersinar. Masih tanggung-tanggung untuk menyalakan semesta. Tapi, seisi rumah dengan cat sewarna madu tersebut sudah ramai saja. Si kembar sudah sibuk berdebat tentang siapa yang harus menggunakan printer duluan. Vlogger yang baru saja masuk dalam youtube rewind dengan nama internet: bimalamdiluar, asik dengan kamera baru dan pretelan-pretelannya. Sedangkan, si sulung, yang katanya paling ganteng, dari tujuh menit yang lalu sudah berhasil melerai si kembar. Solusinya: si kembar boleh menggunakan printer setelah dirinya selesai mencetak bahan presentasi. Dan, siapapun yang selesai mandi duluan, boleh menggunakan printer.

"Ayo sarapan! Bima, ayo! Itu kamera kamu sayang-sayang terus dari kemarin."

Yang ditegur hanya terkekeh. "Maklum, Bu, hasil keringat sendiri. Udah kayak istri."

"Udah kayak istri, udah kayak istri. Mending bawain calon istri buat Mas-mu itu!"

"Sabar, Bu. Nyari istri nggak segampang beli kamera," si sulung keluar dari kamarnya dengan tas kerja dan jas yang disampirkan di lengan.

"EMANG BELI KAMERA GAMPANG?!" Bima mencebik sebal sambil mengikuti kakaknya duduk di meja makan.

wanita berambut hitam legam yang digulung sumpit dan memakai daster batik sibuk mengajak anak-anaknya, "Masya Allah, ini mandi dari tadi kok kayak lagi kampanye. Udah lama, rame lagi! Siapa ini di dalam? Nala atau Dewa?"

Terdengar teriakan dari dalam kamar di sebelah kamar mandi, "NALA, BU! DEWA UDAH SELESAI!"

Seakan tidak mau kalah, sang ibu ikut berteriak, "DEWA AYO SARAPAN!"

Baru saja duduk, sang ibu bangkit kembali, "Bapakmu ini kemana, toh? Kok belum turun?"
"Lagi mandi mungkin, Bu," si sulung berkata sambil mengecek notifikasi email yang dari semalam belum ia buka.

"Taruh dulu henpon-nya, Mas Yudhit."

Seakan disengat listrik, Yudhit, si sulung, segera memasukkan ponselnya ke dalam celana. Keluarga beranggotakan tujuh tersebut memang memiliki aturan ketat tentang makan bersama. Tidak ada ponsel yang diijinkan. Apa pun alasannya. Entah itu urusan kerjaan atau sekolah atau bahkan pacar.

"Pagi-pagi sudah rame aja, Bu," pria dengan celana kargo lusuh dan kaus dari toko cinderamata turun dari tangga sambil membawa koran. Kacamata baca sudah bertengger di leher.

"Nah, ini." Bima tersenyum menatap ayahnya. "Biasa, Yah, Ibu kalau hari-hari gini kan suka heboh."

Yudhit tertawa. "Mana si kembar?"

"Di sini!" anak laki-laki dengan rambut cokelat gelap dan tubuh yang tegap duduk di sebelah Yudhit, "kangen aku, ya? Kemarin Mas pulang dari Canada jam 3 pagi, kan? Nggak sempat liat mukaku."

"Ngapain juga Mas nyari kamu? Yang ada kamu yang nyari Mas, minta oleh-oleh."

"Nala mana?" sang ayah duduk di ujung meja, koran dan kacamatanya sudah diletakkan di halaman belakang, tempat pria paruh baya itu melatukan ritual pagi setelah sarapan: Mengikuti berita dunia sambil menyesap kopi hitam panas dan menikmati sinar matahari.

"Nge-print tugas."

"De, kamu kok ganteng ya." Bima berceletuk.

Dewa, salah satu dari si kembar, terkekeh kemudian mengedipkan satu matanya,"Oh, ya jelas, Mas."

"Ganteng tapi nggak pernah punya pacar," sang kakak melanjutkan, "Nala udah berapa kali tuh ganti pacar?"

"Mas nggak tahu aja. Aku kan tipe-tipe setia."

"Setia sama siapa? wong nggak ada yang mau sama kamu." Kini, si kakak sulung yang mengeluarkan suara. Menyebabkan dirinya dan Bima tergelak.

"Duh Gusti, mau sarapan aja kok susah," sang ibu membawa Nala, si kembar yang satunya, untuk duduk di samping Bima. "Ini, kurang siapa, ya?"

"Anakmu yang gaul," ucap sang ayah sambil mengaduk teh jahe. "Baru pulang subuh tadi. Orang-orang pada berangkat ke masjid, anakmu yang satu itu malah baru masuk rumah."

Tidak ada gelak tawa yang tersisa. Tidak ada suara. Bahkan, Nala dan Dewa urung meminum jusnya. Mereka semua tahu, selama beberapa hari belakangan ini, Sang ayah sedang tidak akrab dengan salah satu dari mereka. Bahkan, baru kemarin, pertengkaran hebat itu terjadi di ruang depan. Yang menyebabkan mereka merasa canggung berada dalam satu ruangan.

"Sudah, Yah, masih pagi." Yudhit menatap ayahnya. Tatapannya teduh dan cenderung menenangkan.

"Nala sama Dewa makan duluan aja, nanti kalian telat." Bima mencoba membuka pembicaraan lain. Berusaha membuang jauh atmosfer aneh yang kini merambah di antara sela-sela sarapan mereka. "Udah mau jam tujuh."

Sang ibu duduk di ujung lain meja makan dan menghela napas.

"Biar Yudhit aja yang manggil Juna, Bu."

"Iya. Cepat ya."

Mereka bilang "The More The Merrier" 'kan? Apa mereka pernah terpikir, di antara merrier itu, ada saja negatifnya. Ada saja hal-hal yang tidak diinginkan. Jika bisa, kelima bersaudara itu ingin mendatangi siapa pun yang pertama kali berkata semboyan the More itu. Lalu, berteriak bersamaan: "YANG ADA THE MORE THE MALAH RIBET, TAU!"

***

05:05Where stories live. Discover now