tiga

117 2 1
                                    

Ini minggu kedua semenjak Juna bekerja di sini. Minggu kedua seorang Arjuna Bramantio menjadi orang kantoran yang berkutat dengan computer dan laporan dan meeting. Minggu kedua seorang Arjuna Bramantio tidak menjadi Arjuna Bramantio.

Juna memang mengiyakan keputusan yang dilontarkan Ibu malam itu. Sebenarnya, ia masih ingin menolak. Ingin membuat negosiasi lain yang mencegahnya untuk bekerja dalam seragam legkap begini.

Dan, pagi-pagi begini, setelah semalam suntuk mengerjakan laporan, ritual sakral Juna adalah nongkrong di pantry sambil menikmati kopi hitam Pak Joko.

"Jadi anak CEO mah enak..."

Juna menghentikan langkahnya sebelum masuk ke pantry. Pria itu memilih bersandar di dinding sebelah pantry. Mendengarkan cerita yang ia sudah tahu, pasti sedang simpang siur akhir-akhir ini.

Terdengar tawa renyah, "iya lah. Kita-kita yang hampir tiap hari lembur, sampe jarang pulang, jelas kalah sama anak CEO."

"Padahal gue kira gue bakal naik jabatan."

"Halah, bukan lo doang yang mikir gitu. Si Andrian, dia udah lama banget kan ngejar jabatan General Manager itu. Sampe jadi penjilat, tiap hari bawain Pak Saka makan siang. Oleh-oleh. Sampe sok deket juga sama Pak Yudhit."

"Tapi, Pak Yudhit sama yang baru ini beda banget. Kakak adik kok bisa begitu."
Juna terkekeh mendengar namanya digantikan dengan 'yang baru'. Kenapa tidak sekalian 'who shall not be named' atau 'zodiac killer' atau 'pempupus harapan naik jabatan'.

"Yah...intinya kalau dilahirin lagi, gue pengen jadi anak CEO. Nganggur nggak ada duit, tinggal minta kerjaan sama bokap. Minta jabatan tinggi sekalian."

Juna mendapat tepukan ringan di pundaknya dan menemukan Pak Joko menatapnya heran di belakang punggungnya. Juna tersenyum, kemudian mengarahkan telunjuk ke bibir, mengisyaratkan untuk diam.

"Gue yakin dia juga nggak ada eduation background buat jadi orang bisnis. Denger-denger, dulu dia kerjanya jadi penyanyi club malam."

Juna hampir tergelak keras. Jadi penyanyi club malam? Gah. Mau dibayar berapapun juga ia tidak mau. Apa gunanya menyanyi di depan orang-orang yang teler?

Juna melangkah masuk dan tersenyum, membuat mereka salah tingkah. Juna tidak tahu nama mereka, tetapi sekali dua kali pria itu melihat mereka dalam meeting. Mungkin anak Marketing, atau Keuangan. Entahlah.

"Pagi." Juna tersenyum sambil meraih cangkir dari rak di atas kompor yang telah terbuka. Juna tidak pernah suka kopi instan, ia lebih suka kopi yang diroast on the spot, yang megeluarkan aroma khas begitu disajikan. Menurut pria itu, kopi instan menghilangkan rasa asli kopi yang sebenarnya lebih menggugah saraf.

Tapi, khusus hari ini, kopi instan menjadi hal yang sangat Juna suka.

"Have a great day, you guys," pria itu melanjutkan sambil mengaduk kopinya. "Jangan ngobrol mulu, ya, kalau bisa langsung kerja. Biar cepet naik jabatannya."

Dan dengan kalimat yang dilayangkan Juna barusan, kedua pria tersebut langsung berubah pucat pasi.

***

"Juna, ke ruangan saya sebentar ya, setelah meeting ini selesai." Yudhit tersenyum sebelum memulai pembahasan terakhir sore hari itu.

Juna mengangguk lalu melirik sekilas ke arah dua orang yang tadi ia 'bunuh' di pantry. Mau tak mau, senyumnya terkembang sedikit. Keduanya pucat pasi dan terlihat sekali sedang menghindari tatapan Juna.

"Gimana, Jun? Sudah mulai nyaman?" Yudhit memulai pembicaraan sambil meletakkan mug kopinya.

Juna tersenyum. "Nyaman nggak nyaman, memangnya aku punya pilihan buat resign, mas?"
Yudhit menghela napas. "Mas tau kamu nggak suka kerja begini. Bukan jalanmu. Bukan kamu banget."

Juna membuka mulut untuk menjawab sebelum dihentikan oleh Yudhit. Kakak sulungnya itu mengangkat jari telunjuknya. "Tadi Ayah nitip sesuatu," jari Yudhit menekan satu angka di telepon, kemudian berbicara kepada sekretarisnya. "Yu, suruh masuk, ya."

Pintu ruangan Yudhit terbuka. Sepasang kaki jenjang dengan sepatu hitam yang mungkin heelsnya dapat membunuh seorang maling melangkah masuk.

"Kenalin, Jun, sekretaris kamu," Yudhit mengangkat kedua alisnya ke arah perempuan tersebut. Yang Juna kira mungkin sekitar 20 tahunan.

"Kila," gadis itu menjawab sambil tersenyum.

Gusti Allah, ucap Juna dalam hati. Sepertinya,dalam beberapa hari ke depan, Juna akan sering sekali masuk kantor. 


***

I know it's so short :(, i'm just telling you that this author is alive and will be continuing this story :)    

05:05Where stories live. Discover now