"Mbakyu, masih kenal dengan saya?" Aku menatap wanita yang masih terlihaat anggun, mengenyahkan percikan rasa sakit yang masih meletup di hatiku apabila aku mengingat kembali laki-laki itu. Takdir terasa kejam dengan mempertemukan kami kembali.
"Ya. Apa kabarmu, Dik?" Dia tersenyum, aku masih melihat kilatan rasa benci di matanya. Perempuan ini sangat pintar bersandiwara dan ironisnya aku mengagumi kemampuannya dalam berpura-pura.
"Baik. Apa kabar Pak Arif?" mengucapkan nama laki-laki itu membuat lidahku mencecap duri.
"Dia baik-baik saja. Kamu mungkin sudah tahu dia telah menjadi rektor di universitas ini. Hari ini dia akan memberikan penghargaan kepada beberapa anak muda yang berbakat." Jemarinya yang lentik melambai pada podium, menunjukkan suami kebanggaannya dan beberapa pemuda yang berdiri di samping laki-laki yang pernah aku cintai 19 tahun yang lalu.
Aku tersenyum dan mengangguk.
Aku tahu, Mbakyu. Salah satu dari anak muda itu adalah anakku.
"Jadi, Dik Sekar ada perlu apa ke sini. Sebagai undangan?" Ia melirik tersenyum padaku, mengerling pada tempat kosong yang ada disebelahku. Kemungkinan besar ia melecehkanku yang tidak mempunyai pendamping hidup. Ia juga tahu aku masih tetap berkarir sebagai peneliti di lembaga independen setelah berhenti dari tempat ini.
"Ya, Mbakyu. Saya mendampingi anak lanangku yang sekarang berdiri di atas podium. Lihat, dia pemuda bertubuh tinggi berambut panjang nomor dua dari sebelah kiri." Aku mengedikkan daguku dengan bangga pada satu-satunya kebahagiaanku dalam hidup, anak laki-laki cerdas yang sangat mencintaiku dengan caranya sendiri. Dan wanita yang menghinaku tadi, tidak pernah merasakan mengandung sekalipun.
Wanita yang tadi mengejekku seketika menoleh, aku rasa ia terkejut. Tidak menyalahkan reaksinya, ia tidak pernah mendengar kabar pernikahanku... dan memang benar, aku tidak pernah menikah. Ia mengerutkan keningnya padaku dan terlihat ingin mengatakan sesuatu, tetapi dengan bijak ia menatap podium kembali.
Aku bersyukur ia tidak menanyakan hal yang membuatku jengah. Tetapi aku kembali mendengar suara tertahan darinya.
"Dik Sekar, anakmu mengambil bidang penelitian yang sama dengan Mas Arif dulu. " Ia berbicara pelan seolah tidak bicara denganku, matanya masih menatap podium dengan pandangan curiga.
"Mbakyu... tentu saja, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya," pungkasku tanpa perasaan. Aku tahu aku akan memicu pertengkaran, tapi aku sudah tidak tahan lagi. Wanita itu mengerjapkan matanya dan menganga, aku hanya meliriknya dan kembali tersenyum sopan.
Kemudian, Bayu melambai ke arahku, meminta agar aku naik ke podium. Sementara Mas Arif mematung ketika melihatku. Aku hanya mengangguk dan tersenyum padanya, laki-laki pengecut yang pernah mengingkari perbuatannya padaku dengan memutarbalikkan fakta.
Mungkin orang yang tahu cerita hidupku akan menganggap aku bodoh, tapi tidak apa... aku sudah menemukan kebahagiaanku sendiri yang tidak akan pernah dirasakan Mbakyu Ratih dan Mas Arif.
Bagiku, itu sudah cukup.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
The Humanity Project - Black Umbrella
Short Storyjust a story about slice of life...