Day 2

10 0 0
                                    

Bandung di pagi hari sangat amat menyejukkan, harusnya aku tidak perlu melarikan diri ke Jogja, buktinya suasana pagi ini telah mampu menenangkan hatiku yang telah lelah berlari menjauh dari kenyataan pahit empat tahun yang lalu. Bunga-bunga bermekaran di pelataran rumah, ia semakin indah dengan buliran embun yang membasahi kelopak dan daunnya. Sudah lama pemandangan semacam ini tak kunikmati, aku sungguh merindu. Namun bukan hanya ini yang aku rindukan, melainkan segalanya, termasuk toko bunga di samping lapangan tenis itu. Apa kabar ya Pak Acik?

Memandangi bunga-bunga membuatku rindu pada toko bunga yang selalu kukunjungi dulu, terutama pada pemiliknya yang begitu ramah. Aku sangat ingin mengunjunginya kali ini.

"Bu, teteh pamit jalan-jalan dulu ya? Teteh pengen lihat-lihat Bandung, pengen keliling-keliling," Ibu yang masih sibuk mengupas bawang seketika berhenti dan menatap ke arahku, "Sama siapa atuh teh? Caca masih sekolah, Ibu masih masak. Kamu tunggu Ibu selesai masak dulu aja ya," aku tertawa dengan jawaban Ibu, "Bu, Kyra teh lahir kadiek, jadi nggak bakalan nyasar mah. Lagian Kyra pengen jalan-jalan sendiri kok bu, teteh mah masih inget jalanan Bandung, tenang aja ah." kataku sembari tertawa melihat wajah Ibu yang terlihat begitu khawatir.

***

Berjalan sendiri menyusuri jalanan Kota Bandung adalah hal yang sangat kusuka. Berjalan perlahan di bawah daun gugur, dengan alunan lembut musik klasik membuatku merasa sedang melakukan adegan-adegan dalam film drama. Akhirnya sampai juga.

"Selamat pagi Pak Acik," sapaku sesaat setelah membuka pintu kaca berwarna putih susu itu.
"Neng Kyra? Ini teh neng Kyra?" aku tak bisa menahan tawa saat melihat wajah Pak Acik dengan air muka yang campur aduk. "Iya, ini saya pak, Kyra." jawabku seraya tersenyum dan berjalan menuju sekumpulan bunga mawar putih.

"Kemana aja atuh neng kok lama nggak pernah kelihatan?" Pak Acik membuka pembicaraan. Aku tersenyum sesaat setelah mendengar pertanyaannya, "Kuliah pak"
"Kuliah? Dimana? Kok nggak pernah mampir? Sibuk sekali ya neng?" rupanya Pak Acik begitu penasaran mengapa pelanggan setianya ini tak pernah muncul selama empat tahun terakhir. "Saya kuliah di Jogja pak"
"Wah kok jauh sekali neng? Kenapa nggak kuliah di sini aja?"
"Nggak apa-apa pak."

Aku masih saja melihat-lihat sekumpulan bunga yang indah dan segar, tapi seakan telah mengerti, Pak Acik langsung memberikanku seikat mawar putih, "Ini saya kasih untuk neng, gratis karena sudah lama nggak ke sini. Neng ke sini pasti ingin mencari ini kan?"
"Sebenarnya saya hanya ingin mampir saja, sekedar berkunjung, nggak berniat membeli ataupun mencari bunga. Saya hanya rindu pada toko ini dan bapak, tapi nggak apa-apa, saya terima. Terima kasih ya pak," kami berdua tertawa setelahnya.

"Pak Acik, saya mau tanya, boleh?", entah mengapa aku sangat ingin menanyakan hal ini. "Sumangga atuh neng, mau tanya apa?", Mmm.
"Laki-laki yang dulu pertama kali membawa saya ke sini dan membelikan saya bunga mawar putih, apa dia masih sering berkunjung?" Pak Acik terlihat begitu bingung.
"Kok neng Kyra tanya begitu? Seharusnya saya atuh yang tanya, kemana si akang ganteng itu kok nggak pernah main ke sini lagi?"

Kenapa Pak Acik kembali bertanya? Aku jelas-jelas tidak tahu, dan memang tidak mau tahu saat itu, entah mengapa sekarang aku begitu ingin tahu tentangnya, sedikit saja

"Saya nggak tahu pak, memangnya nggak pernah ke sini?" raut muka Pak Acik semakin menampakkan kebingungan.
"Enggak neng, terakhir dia berkunjung waktu neng Kyra ke sini beli satu tangkai mawar putih sambil menangis, kalau nggak salah, waktu itu sedang hujan. Beberapa menit setelah neng Kyra pulang, laki-laki itu datang, dia mencari neng Kyra. Saya bilang saja kalau neng Kyra baru saja pulang. Lalu dia berkata bahwa saya harus menyiapkan bunga mawar putih setiap hari, tidak boleh sampai kehabisan. Jaga-jaga kalau sewaktu-waktu neng Kyra datang, takut bunga yang dicari tidak ada." aku tercengang mendengar penjelasan Pak Acik, "Lalu setelah itu, apa dia nggak pernah berkunjung lagi Pak?", "Enggak neng, belum sampai sekarang." aku sudah cukup puas mendengar penjelasan Pak Acik. Setidaknya aku mengetahui hal yang belum pernah aku tahu sebelumnya, tentang dia.

Aku memilih untuk bergegas meninggalkan toko bunga ini, aku berpamitan pada Pak Acik dan berjanji akan kembali lagi besok. Bug!

Pintu terbuka saat aku akan berjalan keluar, dan kepalaku berhasil membentur bingkai pintu. "Maaf, kamu tidak apa-apa?"
"Tidak kok, tidak apa-apa," sebenarnya ini, lumayan sakit. "Aku tidak sengaja, aku tidak melihat kalau ada orang," katanya lagi.
Aku mencoba berdiri, "Tidak apa-apa kok, aku yang salah, tadi aku tidak melihat ke depan saat berjalan," aku dapat melihat siapa yang telah membuat jidatku memerah, ia seorang laki-laki tinggi.
"Ya sudah, aku permisi dulu," aku berjalan meninggalkan toko bunga itu, entah kemana.

Rupanya laki-laki tadi mengikutiku, "Ada apa?"
"Tidak ada apa-apa, saya hanya tidak enak sama kamu soal kejadian tadi," aku sedikit tertawa mendengarnya.
"Tidak apa-apa, aku baik-baik saja. Lagi pula ini salahku juga, sudah santai saja. Kamu sepertinya bukan orang Bandung, ya?" logatnya sangat berbeda dengan orang Bandung kebanyakan, dan sepertinya tidak bisa berbahasa sunda.
"Iya, saya hanya kuliah di sini," oh, rupanya dia mahasiswa, pantas saja menggendong tas dan membawa pensil dan... buku sketsa sepertinya.

"Kalau kamu, asli Bandung?", ia berhasil mengacaukan lamunanku.
"Iya, lahir di sini. Tapi empat tahun di Jogja, kuliah. Kemarin malam baru sampai di Bandung." ia mengangguk-angguk seakan mengerti apa yang aku katakan.
"Toko tadi, toko bunga langgananmu?" tanyanya saat kita berjalan bersama menyusuri jalanan kota.
"Iya, tepatnya empat tahun yang lalu. Sebenarnya aku tidak begitu suka pada bunga, sampai akhirnya seseorang berhasil membuatku jatuh cinta pada bunga, pada mawar putih."
"Oh ya? Siapa?" ia begitu terlihat antusias dengan penjelasanku.
"Seorang lelaki, yang berhasil memasuki hidupku, membawa perubahan besar dalam hidupku, benar-benar besar."
"Apakah dia mantan kekasihmu?" aku sontak terkejut dengan pertanyaannya, aku tidak sadar jika aku sudah banyak berbicara dengannya dan rupanya pembicaraan ini mengarah pada lelaki jahat itu.

Aku tidak menjawab, "Kalau tidak mau cerita, tidak apa-apa kok. Maaf aku terlalu ikut campur, padahal baru kenal," katanya.
"Tidak, tidak apa-apa. Aku bisa menceritakan semuanya, tapi lebih enak jika kita bercerita sambil duduk menikmati pemandangan, atau sambil makan siomay," bukannya mengiyakan, ia malah tertawa. "Hahahah, boleh boleh. Ya sudah kita makan siomay saja, aku punya langganan siomay yang enak. Tidak begitu jauh kok dari sini, ayo." aku mengangguk lalu mengikutinya, berjalan berdampingan hingga sampai di sebuah taman kecil. Ada sebuah gerobak dengan seorang bapak tua, juga beberapa pembeli, "Ini siomay yang aku maksud,"

"Siomaynya dua ya pak", kita memilih untuk duduk di bawah pohon beralaskan tanah, lebih sejuk dan sedikit jauh dari para pembeli juga.
"Mau lanjut cerita?" aku hanya mengangguk.
"Kamu benar, dia yang aku maksud adalah mantan kekasihku. Kita berpacaran sejak kelas satu SMA, saat itu, aku sama sekali tidak tahu menahu soal percintaan. Sampai akhirnya, ia membuatku merasakan itu secara tidak langsung. Dan ia berhasil membuatku berada dalam keadaan dimana aku tidak mengerti apa itu berpacaran, tapi aku sama sekali tidak ingin menolak untuk memulai hubungan percintaan itu. Dia yang membuatku mengenal banyak hal, membuatku menyukai hal yang belum pernah aku tahu, membuatku mencintai hal yang sebelumnya aku benci, tapi ia juga yang membuatku membenci hal-hal yang sebelumnya pernah aku cintai,"
"Apa yang dia lakukan padamu?"
"Seperti yang aku katakan, dia membuatku menyukai hal yang belum pernah aku tahu. Salah satunya, mawar putih. Aku memang sering dengar kata "mawar putih", tapi aku belum pernah melihat sebelumnya. Dan toko bunga itu, menjadi tempat langgananku setelah dia mengenalkanku pada mawar putih. Minggu pertama kita pacaran, dia mengajakku ke toko bunga itu. Lalu dia membelikanku setangkai mawar putih, aku tanya untuk apa? Katanya, bunga bagaikan bahasa hati. Dan mawar putih, melukiskan cinta yang murni. Bahwa setiap cinta yang berlandas ketulusan hati, tidak dapat terelakkan bahwa ia akan menjadi sebuah cinta yang sejati. Dan segala cobaan kecil Tuhan, yang mencoba menggoyahkan, tetapi dibalas dengan kesabaran, maka jelas akan berhadiah kesetiaan."
"Sepertinya, mantan kekasihmu itu puitis juga" tanggapannya menyadarkanku bahwa sudah hampir satu jam kita duduk di sini, bahkan siomaynya belum termakan sama sekali.
"Mungkin. Lucunya, kita sudah berbincang banyak, aku sudah menceritakan seperempat kisah piluku, dan sekarang kita sedang makan siomay bersama, tapi aku tidak tahu namamu siapa," aku mencoba mencairkan suasana, lalu kita terbahak bersama.

"Aku Kyra," sambungku.
"Aku...,"

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 25, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ada LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang