Cast : GOT7 JB (feat. other members of GOT7)
Genre : Fluff
Rate : T
Length : 886 words
Summary : you comforts him when he's not in a good mood
Aku berjalan dengan santai di koridor apartemen yang diselimuti keheningan sore itu. Dengan tangan kiri yang menjinjing kantung berisi jajangmyun yang ku beli sebelum ke sini, tangan kananku menekan bel pintu di hadapanku. Belum sempat aku melepaskan tangan dari tombol bel, pintu di depanku langsung terbuka dan tatapanku langsung berhadapan dengan seorang pria yang matanya berkaca-kaca. Ia hanya sempat menganggukkan kepalanya sekilas sebelum pergi meninggalkanku di sana. Seorang pria—yang lebih tinggi dari pria pertama—kemudian muncul tanpa menyadari kehadiranku dan menyusul kepergian pria yang pertama.
Apakah aku datang pada waktu yang salah?
Kebingungan masih menyelimuti pikiranku ketika seorang pria lainnya muncul dari balik pintu. Kali ini ia terlihat lebih tenang, tidak seperti dua rekannya yang sudah menghilang dari koridor.
"Hai, ____." Sapa Jinyoung santai. "Masuklah. Dia ada di dalam."
"O-oh, baiklah." Ujarku bingung. Jinyoung memiringkan badannya untuk memberi jalan masuk bagiku.
"Oppa, apa yang—"
"Aku harus segera pergi. Kau sudah bertemu Bambam dan Yugyeom kan tadi?" potongnya dengan balik bertanya.
Aku mengangguk, lagi-lagi bingung.
"Kau tentu bisa menebak apa yang sudah terjadi pada mereka, bukan?"
......Oh tidak.
Jinyoung tersenyum, sepertinya ekspresiku berubah ketika aku mulai menyadari apa yang sedang terjadi. Ia pun pergi setelah menepuk pundakku pelan.
Tidak ada siapapun di ruang tengah ketika aku masuk. Biasanya di hari libur seperti ini aku menemukan Mark yang tidur di sofa ruang tengah dan terdengar suara keyboard yang ditekan dengan cepat dari arah kamar Youngjae. Tapi kali ini tidak ada tanda-tanda kehidupan apapun.
Bahkan dari dirinya.
Aku berjalan menuju dapur dan menyimpan kantung jajangmyun di atas meja makan. Setelah menyiapkan diri dan menarik napas panjang, aku kemudian berjalan kearah kamarnya dan mengetuk pintunya pelan.
Ketukan pertama, tidak ada jawaban.
Aku mengetuk lagi, kali ini sedikit lebih keras.
"Ini aku. Jajangmyun-nya kutaruh di meja makan. Jangan lupa di makan. Aku pulang dulu." Ujarku pelan namun cukup keras untuk terdengar ke ruangan dibalik pintu ini.
Aku pun membalikkan badanku untuk berjalan kearah pintu. Belum sempat aku melangkah, terdengar suara balasan dari arah dalam kamar di belakangku.
"Masuklah."
Eh? Apa aku tidak salah dengar?
Selama ini aku sudah cukup mengenal dirinya dengan baik. Jika terjadi hal-hal seperti ini, ia bukan tipe orang yang ingin ditenangkan atau ditemani hingga suasana hatinya membaik. Bukan, bukan seperti itu. Ia lebih memilih untuk menyendiri dan melakukan refleksi dirinya sendiri—tanpa diganggu siapapun. Dan aku selalu menghargai hal itu.
Tapi kali ini, ia menyuruhku masuk?
Sempat ragu, akhirnya aku menarik pegangan pintu dan masuk ke dalam kamar yang sudah lama tidak aku kunjungi itu. Setelah menutup pintunya kembali, badanku berbalik dan mataku menangkap sosoknya yang sedang duduk di lantai dengan kepala tertunduk. Tapi kemudian ia mengangkat kepalanya sedikit dan mengarahkanku untuk duduk di sampingnya. Dari sorot matanya ketika menatapku, tidak kutemukan sisa-sisa 'kejadian' yang sedari tadi kubayangkan dalam pikiranku.
Tentu ia bisa menyembunyikannya. Kau lupa kalau kekasihmu ini jurusan akting? Babo.
"Bagaimana tadi kegiatan relawannya?" tanyanya dengan seulas senyuman. Ketegangan yang selalu muncul setiap kali aku menemuinya—setelah ia marah, kesal, frustasi, dan sejenisnya— mulai menghilang dengan senyuman yang ditunjukkannya. Aku pun menjelaskan sedikit bagaimana kegiatan relawan yang baru saja kulakukan. Percakapan berlanjut dengan ia yang bertanya lebih jauh tentang apakah aku sudah makan, apakah aku kesulitan membelikan jajangmyun untuknya, tadi pagi aku sarapan atau tidak, apa yang akan aku lakukan setelah ini—
dan aku tidak dapat kesempatan untuk bertanya mengenai dirinya.
"Besok kau sudah mulai libur?"
Aku mengangguk.
"Baguslah, kau bisa mulai istirahat." Ujarnya sambil mengelus kepalaku pelan. Suasana kemudian berubah hening.
Inilah saatnya.
"Oppa—"
"Bisakah kau duduk di atas kasur?" potongnya sambil mengarahkan kepala ke kasur tingkat di belakang kami.
Eh? Apa ini?
Aku mencoba untuk mencari gurauan dari ekspresinya, nihil. Ia serius. Tanpa menunggu ia menyuruhku untuk yang kedua kalinya, aku pun duduk di tempat tidur tingkat bawah—tempat tidurnya.
Aku memposisikan diri menghadap kearahnya yang masih duduk di atas lantai, dan tetap belum bisa menebak mengapa ia menyuruhku duduk di sini. Tapi kemudian ia bergerak, bergeser dari tempatnya duduk untuk mendekati posisiku.
Oh.
Aku refleks membuka tangan dan kakiku agar ia bisa bersandar sambil melingkarkan kedua tangannya di pinggangku. Inilah sisi lain dirinya yang—sebisa mungkin—tak pernah ia tunjukkan di depan orang lain. Seringkali aku meragukan apakah yang ada di hadapanku benar seorang Im Jaebum—ketika ia memunculkan sisi lain dirinya ini.
Tapi kali ini, tanpa ragu tanganku melingkar di bahunya, mengunci posisi kami saat ini.
"Aku tidak apa-apa." Gumamnya tiba-tiba.
"Hmm." responku sembari tersenyum. Ia selalu mengatakan hal yang sama setiap kali ia seperti ini. Seakan-akan otaknya memerintahkan bibirnya untuk tetap menjaga harga dirinya sebagai seorang pria dewasa dan seorang leader—sementara tubuh dan perilakunya menunjukkan hal sebaliknya.
Ia kemudian mengeratkan kedua tangannya yang melingkar di pinggangku, seakan posisi kami sebelumnya tidak cukup dekat baginya. Tanganku lalu bergerak untuk mengelus kepalanya pelan yang mendapat respon hembusan napas panjang darinya.
"Jangan berhenti." Ujarnya.
"Ya?"
"Jangan hentikan tanganmu, tetaplah seperti itu."
"Hm, baiklah."
Aku pun menuruti permintaannya dengan tidak menghentikan gerakan tanganku di kepalanya. Sekian menit pun berlalu dengan posisi kepalanya yang kini berada di atas pahaku.
"_____," gumamnya tiba-tiba, setelah beberapa menit sebelumnya ia memilih untuk tidak bersuara sama sekali.
"Ya?"
"....aku tidak apa-apa."
Aku tersenyum dan sebisa mungkin menahan tawaku.
Bahkan dalam keadaan seperti ini, ia bisa membuatku bingung.
Bingung untuk memilih apakah aku harus tetap menenangkannya seperti ini atau mencubit pipinya sambil menyuruh ia berhenti berbohong.
(a/n: gahhhhhh this is not turns out like the way i want T_T but still, hope you can enjoy this chapter. Thanks for reading and have a nice day ^^)
KAMU SEDANG MEMBACA
GOT7 JB: Boyfriend Oneshot Collection (INA/Bahasa)
FanfictionOneshot Collection of GOT7 JB as a Boyfriend. Written in Bahasa. Enjoy ^^