"Aku menghabiskan sepuluh
tahun untuk membencinya, tetapi
menghabiskan hampir sepanjang
sisa hidupku untuk mencintainya.
Aku bebas darinya karena
kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu
tulus"
Aku membencinya, itulah yang
selalu kubisikkan dalam hatiku
hampir sepanjang kebersamaan
kami. Meskipun menikahinya, aku
tak pernah benar-benar
menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orang tua,
membuatku membenci suamiku
sendiri. Walaupun menikah terpaksa, aku
tak pernah menunjukkan sikap
benciku. Meskipun membencinya,
setiap hari aku melayaninya
sebagaimana tugas istri.
Aku
terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan
lain. Beberapa kali muncul
keinginan meninggalkannya tapi
aku tak punya kemampuan
finansial dan dukungan siapapun.
Kedua orang tuaku sangat menyayangi suamiku karena
menurut mereka, suamiku adalah
sosok suami sempurna untuk putri
satu-satunya mereka.
Ketika menikah, aku menjadi istri
yang teramat manja. Kulakukan
segala hal sesuka hatiku. Suamiku
juga memanjakanku sedemikian
rupa. Aku tak pernah benar-benar
menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu
bergantung padanya karena aku
menganggap hal itu sudah
seharusnya setelah apa yang ia
lakukan padaku. Aku telah
menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnya lah membuatku
bahagia dengan menuruti semua
keinginanku.
Di rumah kami, akulah ratunya.
Tak ada seorangpun yang berani
melawan. Jika ada sedikit saja
masalah, aku selalu menyalahkan
suamiku. Aku tak suka handuknya
yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia
meletakkan sendok sisa mengaduk
susu di atas meja dan
meninggalkan bekas lengket, aku
benci ketika ia memakai
komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan
pekerjaannya. Aku marah kalau ia