Strawberry Swing
Inspired by Coldplay's song, Strawberry
Swing***
I remember
We were walking up to strawberry swing
I can't wait 'til the morning
Wouldn't wanna change a thing***
Rasanya senang bisa pulang.
Kerinduan ini sudah mencapai ubun-ubun dan menggapai posisi-posisi tertentu dalam syaraf tubuhku yang membuatku akhirnya tergerak- memutuskan untuk kembali ke tempat ini, rumah ku yang nyaman.
Aroma masakkan Ibu adalah salah satu alasannya. Aku selalu rindu masakkan Ibu. Samgyetang buatan Ibu adalah yang nomor satu untukku. Semua makanan enak di luar sana hanya akan terasa hambar untukku setelah menyicip kembali masakkan Ibu.
Kamarku adalah alasan yang kedua. Aku rindu kamar- warna kamarku biru dan dindingnya penuh poster pemain bola, tipikal anak lelaki. Aku senang berlama-lama di dalam kamar, bebas melakukan apa saja yang kuinginkan tanpa memikirkan betapa banyak larangan yang sudah aku langkahi- mendengar lagu dengan suara super kencang, bermain playstation sampai pagi, dan diam-diam menonton film dewasa pinjaman.
Alasan yang ketiga, ini cukup aneh. Aku rindu ayunan. Bukan, ini bukan ayunan biasa. Sepasang ayunan berwarna merah mirip buah stroberi yang menggantung di ranting kokoh pohon oak di atas bukit dekat kawasan pemukiman rumahku. Aku ingat betul masa-masa itu, duduk di atasnya dan merasakan angin sore menari-nari menerbangkan rambutku yang persis mirip jamur pada saat itu.
Tapi, bukan itu. Aku tidak rindu angin sore ataupun warna dari ayunan itu. Aku rindu dia. Seorang teman yang setia menemaniku menikmati sore hari yang sejuk setelah pulang sekolah.
Aku rindu Park Sooyoung, teman perempuan pertamaku- ah tidak, dia cinta pertamaku.
Kami berteman sejak umurku empat tahun, Sooyoung terpaut satu tahun lebih muda dariku. Ia begitu cantik. Matanya besar dan pipinya punya rona merah muda. Sooyoung bisa memanjat pohon dan membantu mendorong sepedaku saat melewati tanjakkan. Kami punya pemikiran yang sama dan pertemanan ini berlanjut hingga beberapa tahun kedepan.
Tahun demi tahun terlewati, umur kami bertambah setiap tahunnya dan aku merasa ada yang berbeda. Kami mulai dewasa, Sooyoung jadi semakin cantik dan hatiku mulai berdesir saat melihat senyumnya. Aku butuh satu minggu untuk menelaah segalanya sebelum aku benar-benar sadar bahwa aku menyukai Sooyoung.
Perasaanku semakin membesar dan aku tak kunjung mengungkapkannya. Saat itu aku ada di tahun ketiga sekolah menengah dan minggu depan akan menjalani kelulusan. Seperti sore hari sebelum-sebelumnya, aku dan Sooyoung duduk di atas ayunan stroberi kesayangan kami dan mengobrol tentang masa depan.
"Setelah lulus, kau tetap pergi?"
Aku terdiam untuk beberapa saat, memikirkan pertanyaan Sooyoung berkali-kali. Aku sedang tidak berniat untuk membahas topik ini tapi Sooyoung punya pikiran berbeda- ia malah mengangkat topik yang sejak tadi kuhindari, untuk pertama kalinya jalan pikiran kami tidak sama.
Aku menunduk, memandang kosong kedua kakiku. "Aku tidak tahu." gumamku dengan volume suara yang sengaja dikecilkan. Berharap Sooyoung tidak mendengarnya dan mengganti topik pembicaraan kami.
"Yakinkan hatimu, Sungjae. Aku tahu kau menginginkannya, Hongik, tidak mudah untuk diterima disana dan kau mendapat kesempatan emas." suara Sooyoung mengalun di telingaku bagai musik, gadis itu mulai memberikan ceramah penuh semangat yang tidak ingin aku dengar. Aku ingin disini, aku ingin tetap tinggal bersamamu.