Part 1

18 3 0
                                    

Jam menunjukan pukul 3 pagi. Dengan sigap, aku bangkit dari tempat tidur sederhanaku yang hanya terdiri dari sebuah bedcover lusuh dan sebuah bantal kecil yang penuh dengan jahitan.

"Ah, hari ini udaranya cerah ya.. waktu yang tepat untuk berbagi kebaikan." aku tersenyum manis sambil memandang langit luar yang masih gelap dari 'jendela alami' yang terbentuk dengan sendirinya di dinding rumah sederhanaku ini.

"Aku harus cepat melancarkan aksi kedermawananku. Mereka pasti telah menungguku dengan semangat."

Dengan cepat kusabet jaket lusuhku yang sudah bolong di beberapa tempat dan berlari keluar rumah. Musim dingin tidak akan bisa menghalangiku untuk melakukan aksi kedermawananku.
.
.
Tok. Tok. Tok.

Kuketuk pintu kayu di depanku dengan semangat yang menggebu-gebu.
Tidak kupedulikan udara dingin yang menusuk kulitku, membuat tubuhku hampir membeku.
Tak lama setelahnya, seorang wanita paruh baya membuka pintu yang kuketuk tadi. Ia memandangiku sebentar dari atas sampai bawah kemudian berkata dengan ragu, "ada keperluan apa??"

"Saya ingin memberikan roti untuk anak-anak." jawabku sambil menunjukkan keranjang yang kututupi atasnya dengan jaketku agar tidak membeku.

Wanita tadi memandangiku sejenak dengan tatapan tidak percaya. "Seluruh anak sedang tidur sekarang. Datanglah lagi nanti siang saat semuanya telah bangun."

"Ta-"

Ia langsung menutup pintu tanpa menunggu jawaban dariku.

Dengan rasa sedih, aku kembali pulang dengan roti-rotiku yang kemungkinan juga telah membeku sepertiku itu.
.
.
.
Rumahku cukup sederhana dan praktis. Aku tidak perlu susah-susah membuka atau menutup pintu seperti kebanyakan orang pada umumnya. Pintu rumahku hanya terbuat dari sobekan-sobekan daun pisang yang kubuat sendiri. Pada dasarnya, setiap orang memiliki talenta yang diberikan Tuhan. Mungkin talentaku adalah dalam hal kreatifitas.

Perabot dalam rumahku pun juga tidak banyak dan cukup sederhana. Aku memilih untuk tidak menggunakan barang-barang mewah agar tidak terikat dengan keinginan daging.

Aku menyiapkan beberapa kayu bakar dan menggosokan dua buah batu untuk menyalakan api pada kayu bakar tersebut.

"Huuhh.." aku menghembuskan nafas untuk mengeluarkan udara dingin dalam paru-paruku.

Setelah berhasil menyalakan api, aku menaruh roti-rotiku dalam sebuah panci dan menaruhnya di atas api agar tetap hangat. Aku tidak bisa membiarkan anak-anak itu makan roti yang telah beku. "Kumohon, tetaplah hangat."

"Virtus-sama.." Sebuah suara yang tidak asing memanggil namaku. Aku pun menoleh mencari asal suara yang memanggil namaku tersebut.

Meski aku telah menduganya, namun aku tetapーsedikitーterkejut ketika mendapati pengikut-pengikut yang sudah kuanggap sebagai adikku sendiri sedang berlutut menungguku menyadari keberadaan mereka.

"Humilitas, Benevolentia, Patientia, Industria, Caritas, Temperantia, Castitas, apa yang kalian lakukan? Cepat berdiri. Aku menghargai rasa hormat kalian, tapi kalian tidak perlu berlutut kepadaku." aku tersenyum manis sambil membantu mereka untuk berdiri.

"Apa yang kalian lakukan disini? Sudah lama juga kita tidak bertemu. Kapan ya terakhir kali?"

"Seratus tahun yang lalu. Saat Virtus-sama menjual istana milik Virtus-sama pada Sirtus-sama untuk membantu manusia yang membutuhkan." Castitas menjawab sambil menghembuskan nafas kecil.

"Ah, iya. Saat itu. Nah, sekarang, untuk apa kalian menemuiku?"

"Kami sudah berhasil mendapatkan kembali istana milik Virtus-sama. Kami ingin Virtus-sama kembali." kali ini Humilitas yang menjawab.

"Eh? Benarkah? Aku sangat menghargai usaha kalian, tapi sepertinya aku menyukai tempat ini." aku menyuguhkan beberapa buah apel yang kupetik beberapa hari lalu pada mereka.

"Virtus-sama, sebagai roh kesederhanaan, saya ingin mengatakan bahwa 'kesederhanaan' anda terlalu berlebihan." Temperantia berkata dengan sedikit penekanan, berusaha meyakinkanku.

"Bukan itu. Bukan rumah ini yang kumaksud. Aku menyukai tempat ini karena disini aku dapat melihat berbagai macam manusia dan membantu mereka. Aku ingin menyebarkan kebaikan pada mereka." aku memotong-motong sebuah apel menjadi 7 bagian sama rata dan membaginya pada ketujuh adikku tersebut.

"Virtus-sama, kau tidak pernah berubah. Kau tetap lah Virtus-sama yang baik hati." Benevolentia berkata sambil tersenyum tulus.

"Jika Virtus-sama berkata seperti itu. Kami tidak akan memaksa." dengan tulus Caritas berkata sambil menikmati apel yang kuberikan.

"Kapanpun Virtus-sama ingin kembali, kami akan selalu menyambut Virtus-sama." Patientia ikut menambahkan dengan senyum khasnya.

"Terima kasih Caritas, Patientia." ucapku sambil membalas senyum mereka.

"Kalau begitu, kami pergi dulu." Industria mewakili semuanya berpamitan padaku.

"Baiklah. Hati-hati di jalan." dalam satu kedipan mata, rumah yang tadi awalnya penuh menjadi kosong, meninggalkanku seorang diri.

"Ah, aku lupa tidak bertanya bagaimana cara mereka mendapatkan istanaku kembali dari Sitrus. Yah, tapi aku tidak menyangka Sitrus membatalkan rencana memperluas istananya. Mungkin ia masih ingin ber-tetanggan denganku."

"Ah, sudah pukul 6 pagi. Waktunya untuk menyapa tetangga baruku dan tetangga-tetangga lainnya." aku pun langsung berlari keluar dari rumahku dengan semangat.

"Selamat pagi semua.." teriakku sedikit keras berharap semuanya akan mendengarku. Namun tampaknya karena musim dingin, tidak ada yang keluar rumah.

"Ah, mungkin aku harus mengantarkan minuman hangat untuk mereka."

Saat aku akan berjalan menuju supermarket, tiba-tiba saja aku tersandung oleh gumpalan salju, dan di saat itu lah aku baru menyadari bahwa rumahku dipenuhi dengan tumpukan-tumpukan salju.

'Ah, gawat. Bagaimana jika tetangga baruku juga tersandung sepertiku.'

"Huuh.. syukurlah." aku menghembuskan nafas lega melihat rumah tetanggaku yang sangatlah bersih. Tidak ada salju sama sekali di sekelilingnya. Bahkan aku dapat melihat tanah. Dengan begitu, mereka tidak akan tersandung sepertiku.

Baiklah, sudah tidak ada waktu lagi. Aku harus membawa minuman hangat dan menyapa tetangga baruku itu. Ia pasti akan sangat senang. Aku penasaran, orang seperti apa ya tetangga baruku itu. Sepertinya dia orang yang sangat rajin, di lihat dari halaman rumahnya yang sangat bersih pun sudah kelihatan.

Tapi, aku penasaran, kemarin tidak hujan salju kan? Lalu, darimana asal tumpukan salju ini?

It's Good to be BadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang