Pada satu masa, kurasa kesedihanku akan tinggal selamanya. Tanpa adanya kehadiran dirimu, sebab engkau telah seutuhnya lenyap dariku.
***
Arman membolak-balikkan halaman demi halaman sebuah buku gambar berukuran A3 yang berisikan ragam gambar sketsa rumah impian. Buku gambar tersebut, sejatinya merupakan benda teristimewa yang diperolehnya dari sang mantan ketika dirinya meraih gelar sebagai sarjana teknik sipil. Banyak sekali kesan indah yang tak dapat ia lupakan dari buku yang sampulnya menampakkan sekumpulan gedung itu. Sebagian kenangan dari buku itu terdiri dari keindahan, sementara sebagian lainnya terdiri dari keterpurukan. Keterpurukan yang mampu mengenyahkan keindahan yang selama ini menemaninya.
“Satu tahun telah berlalu—tepatnya hari ini, semenjak kepergianmu, Amanda,” ucap Arman yang tak kuasa menahan air matanya seraya tangan kirinya yang menggenggam erat sebuah liontin berwarna merah delima yang terpampang inisial A.
“Tahukah dirimu? Hari-hari yang kulalui bagai duri-duri tajam yang menusuk ulu hatiku. Kurasakan kepedihan yang teramat dalam, pada ruang rasa yang pernah merasakan kebahagiaan ini. Kurasakan kepedihan … tanpa menyisakan sedikit pun perasaan indah. Sakit sekali …” Arman pun terlarut dalam tangisnya.
“Izinkan kutumpahkan air mata untukmu! Butuh waktu seumur hidup untuk melupakanmu! Maaf Amanda, aku harus melanggar janjiku!” Arman memejamkan kedua matanya yang kini dibanjiri oleh air mata. Suara tangisannya terdengar pilu dan menyakitkan.
***
Satu tahun yang lalu, menuju detik-detik akhir kehidupan Amanda. Dokter telah memvonis kematiannya sejak dua tahun lalu, namun, berkat doa dan upaya nan gigih untuk sembuh, sang gadis pun mampu bertahan melampaui vonis yang ditentukan.
“Sayang, maafkan aku. Karenaku, kamu sampai mengorbankan diri menghabiskan waktu demi menemaniku. Mengabaikan skripsimu yang seharusnya selesai sedari lama. Begitu pula detik-detik berharga lainnya yang kamu buang sia-sia, hanya demi merawat manusia yang menyusahkan dan penyakitan sepertiku,” ujar Amanda dengan air mata yang berlinang.
Arman mengusap lembut punggung tangan Amanda. “Hei …, bicara apa kamu ini? Sebentar lagi, kamu pasti sembuh! Segala hal yang pernah kita lalui pasti akan kembali semula.”
“Mengapa tidak kamu cari gadis lain yang lebih pantas membahagiakanmu? Yang lebih bisa diandalkan untuk mengiringi hari-harimu? Aku ingin kamu bahagia. Lagi pula, Tuhan hanya memperlambat kepergianku, bukan menyembuhkanku dari penyakit ini.”
“Jangan pernah-sekalipun-kamu ucapkan itu. Bicaramu semakin sembarangan, jangan-jangan ada yang kamu sembunyikan dariku, ya? Aku masih kurang dalam membahagiakanmu, ya? Katakanlah. Jangan sekalipun ragu untuk mengungkapkannya. Katakanlah sejujurnya.”
“Jujur, kamu lebih dari cukup untuk menjadi lelaki yang pantas melengkapi kebahagiaanku. Rasa terima kasihku kepada Tuhan yang mempertemukanku denganmu, tak terdefinisikan. Apabila Tuhan mencabut nyawaku hari ini, akan kupinta satu hal padamu; ikhlaskan aku. Relakan kepergianku, bersama segala yang telah kita miliki.” Amanda berkata dengan suara bergetar, disertai air matanya yang menjelma tangisan deras.
Untuk sesaat, mereka saling terdiam. Sebelum akhirnya Arman membalas perkataan kekasihnya.
“Jangan katakan apa pun. Lagi. Tegakah kamu menghancurkan impian kita? Kamu tega melihatku luluh-lantak? Siapa lagi yang tak menyukai hubungan kita selain ayahmu? Apakah ibumu, atau adikmu, Ami? Kalau begitu, izinkan kudatangi mereka semua untuk memohonkan restu. Kalau perlu, akan kulakukan detik ini juga.” Bibir laki-laki itu bergetar hebat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kepergianmu Membekaskan Sesuatu
Short StoryAku memang pernah menjadi wadah, tempat di mana kamu tumpahkan segala keluh kesah beserta cerita menyenangkanmu. Kamu pun merupakan ruang hidupku, tempat di mana kukisahkan gundah gulana beserta lingkaran bahagiaku. Aku menjadi api hebat, kamu menja...