Devil Sinner

369 58 64
                                    

-{ Ryuuga's POV }-

"Yuri, kita sudahi saja." Darah segar menetes dari ujung pisau yang kugenggam erat. "Aku rasa dia sudah jera."

"Ryu-kun, tadi dia menyibak rok ku," Yuri menatap bosan, "Aku ingin satu lagi jari tangannya."

Sringgg! Crash!

"Aaaakh!! Tolooooooong!!!"

Di balik paras manisnya, Yuri adalah iblis. Kalau ada seseorang yang membuatnya merasa tidak senang, dia akan menyiksanya tanpa segan. Bukan dia, tapi aku yang melakukannya untuk Yuri. Ia memerintahkanku bagai seorang Ratu dan aku melakukannya karena aku mencintainya.

"Orang ini sudah tidak bisa bicara karena shock. Kalau pun kita tinggalkan di sini, pasti dia juga akan segera mati kehabisan darah," kataku sambil mengelap pisau di tanganku dengan kain putih. Kemudian kain putih itu tidak putih lagi, bercak darah menodainya dengan kacau.

"Jaa~ kalau begitu, ayo kita segera pergi!" Yuri langsung bangkit dari kursinya dengan wajah yang sumringah layaknya anak kecil habis diberi balon. Namun aku tidak bergeser sedikitpun dari tempatku berdiri.

"Yuri," panggilku. "Kenapa kau sangat membenci orang-orang?"

"Karena aku tidak menyukai mereka! Kalau tidak suka, berarti namanya benci, kan?" Yuri tersenyum dengan bibir tipisnya, ayolah apakah ini jawaban yang pantas untuk tersenyum seperti itu?

"Kalau begitu kenapa kau tidak menyukai mereka?" Aku menatap matanya, mengharapkan jawaban serius.

"Ini cerita yang panjang, Ryu-kun! Kalau begitu aku akan kembali ke kursiku." Yuri kembali menempatkan diri ke kursi di belakangnya, kembali kedalam kegelapan yang menutupi sebagian wajahnya. Aku bisa melihat mulutnya tebuka dan terkatup namun aku tak bisa melihat sorot matanya.

"Beberapa tahun lalu ada sebuah rumah gubuk reyot yang menjadi tempat bernaung dua gadis kembar. Mereka yatim-piatu dan hidup kesusahan setiap hari. Tidak ada yang mau membantu mereka atau bahkan sekedar perduli."

"Dua kembar itu adalah aku dan saudariku Yura. Suatu hari, Yura sakit keras, aku tidak bisa menolongnya dan tidak ada yang mau menolong kami untuk memberikan obat. Aku selalu berteriak meminta tolong dan menangis di depan pintu, tapi para warga malah mengatakan aku gila. Hingga tersebar kabar kalau penyakit Yura telah membawa wabah bagi penduduk desa."

"Lalu ... mereka membakar rumah kami begitu saja beserta aku dan Yura di dalamnya. Mencoba membunuh kami seperti lalat yang tidak berarti. Aku kesusahan untuk menyelamatkan diriku sendiri, apalagi untuk menggendong Yura yang sedang sekarat? Aku tidak bisa, aku hanya bisa melihatnya terbakar bersama gubuk kami."

Yuri mengepalkan tangannya erat-erat.

"Aku melihatnya terbakar sampai habis. Bagaimana api yang membara itu perlahan mengelupaskan kulit-kulit putihnya. Yura menggapai-gapaikan tangan padaku, tapi aku malah melangkah mundur, terlalu ngeri melihatnya terbakar seperti itu."

Yuri terdiam, napasnya yang tadi memburu perlahan mulai tenang.

"Sekarang setiap aku memejamkan mata, aku selalu melihatnya. Melihat Yura terbakar secara perlahan. Juga jeritan memilukannya selalu terngiang dalam tidurku. Setiap malam."

"Semenjak itu kau jadi membenci orang-orang? Kemudian menyiksa mereka untuk membalaskan kebencianmu," simpulku.

"Tidak," sergahnya. "Aku menyiksa mereka bukan karena kebencianku semata. Tapi rasanya itu seperti obat penenang. Seperti kebutuhan. Karena mendengar suara jeritan mereka, membuatku merasa damai. Rasanya seperti menikmati alunan musik Mello yang indah."

Aku sedikit bergidik.

"Kalau begitu kenapa menyuruhku? Kenapa tidak kau lakukan sendiri dengan tanganmu?" tanyaku dengan nada suara semakin naik.

"Karena kau mencintaiku, Ryu-kun," jawabnya. "Maka kau juga harus membenci orang-orang seperti aku membenci mereka. Kalau kau yang melakukannya, setidaknya terlihat seperti itu."

Aku mengepalkan tanganku erat-erat, "Jangan libatkan aku dalam kebencianmu itu!" Aku mengatakannya dengan nada lebih rendah tapi penuh penekannan.

Kami terdiam untuk waktu yang cukup lama, mencoba fokus pada pemikiran kami masing-masing.

"Hah, baiklah ... mungkin ini hari yang berat bagimu." Yuri bangkit dari kursinya dan melangkah pergi. "Istirahatlah yang cukup, Ryu-kun."

Namun sebelum ia melaluiku, aku mencengkram lengannya. "Maaf saja, aku tidak akan melakukan ini lagi untukmu, Yuri. Aku tidak mau menyiksa orang lagi."

Tidak ada jawaban darinya, Yuri hanya terdiam tanpa respon. Sampai tiba-tiba sebuah belati melayang bebas di depan wajahku. Beruntung aku sempat menghindar meskipun meninggalkan sedikit luka gores di pipi kiri.

"Aku tidak senang mendengarmu berkata begitu, Ryu-kun." Kali ini nada suaranya dingin dan sangat mengerikan. "Kau tidak bisa melarikan diri dariku begitu saja. Kalau pada akhirnya kau memilih begitu, lebih baik cepatlah mati saja sana!"

"Apa?" Jujur lututku bergetar, beruntung suaraku tidak ikut bergetar.

"Apakah kau tahu hari itu, sebenarnya aku bisa saja menyelamatkan Yura dari kebakaran. Tapi aku tidak melakukannya," Yuri mulai membabi buta dengan belati di tangannya yang terus ia hunuskan padaku. "Karena, sejujurnya dia sangat merepotkan ketika masih hidup. Dia selalu merengek kesakitan padaku, sampai aku hampir gila mendengarnya."

Lagi-lagi serangannya meleset, tapi kali ini aku berhasil mencengkram pergelangan tangan Yuri. "Jangan pernah merengek padaku!" Yuri menghentak tangannya hingga cengkramanku terlepas.

Aku tidak menyangka Yuri bisa melakukan tendangan 360 derajat kebelakang yang telak mengenai wajahku. Aku pun ambruk seketika, sebelum sempat mengumpulkan kesadaran ia sudah menindih di atas tubuhku.

"Kau merengek persis seperti Yura," Yuri mengangkat belati tinggi-tinggi hendak menancapkannya di jantungku. "Matilah bersamanya!"

Aku melirik segala arah mencari-cari benda yang bisa membantuku menyingkirkannya, namun semua benda terasa menjauh dari gapaianku. Sampai mataku menangkap sesuatu yang berkilau terkena cayaha lampu. Pisauku!

Jlebbb!

Kami menancapkan pisau dalam waktu yang sama, dan tepat mengenai titik vital masing-masing. Hingga kami meninggalkan dunia ini bersama. Aku dan Yuriku.

Tamat
________

[

Devil Sinner ]
[ 18 Januari 2017 ]

Pertama-tama terima kasih karena telah mau membaca ceritaku. Ini adalah cerita pertama jadi mohon koreksinya agar aku bisa menulis dengan lebih baik.

Terima Kasih :)

Oneshoot [Psycho]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang